Lia Bara||Cerpen
Papan keyboard laptopku
terus berdetak. Jemariku dengan lincahnya menekan setiap tombol-tombol
keyboard. Entah berapa kata yang telah membentuk untaian kalimat berakhir pada
tombol backspace. Sesekali desahan nafas terdengar begitu berat. Dari mana aku
harus memulainya? Aku hanya ingin menuangkan apa yang terus menggerogoti hati
dan pikiranku selama ini. Namun lagi-lagi jari kembali menekan tombol backspase.
Sekaku inikah aku ketika berhadapan dengan monitor laptop saat hendak
menuangkan isi hatiku? Kalimat indah yang ingin kutuangkan sore tadi seakan
dengan gampangnya hilang begitu saja. “Galau saja terus, jangan pedulikan
skripsimu.” Batinku seakan memaki diri sendiri. Tiba-tiba dering handphone berturut-turut
nyaris membuatku terlonjak. Bagaimana tidak, ini sudah pukul 22.20 Wita. Yang
artinya para penghuni kos tengah berlayar ke alam mimpinya masing-masing
kecuali aku. “Sialan, siapa sih yang masih sempat-sempatnya chatt di jam
begini? Awas saja kalau tidak penting.” Umpatku dalam hati. Dengan malas kuraih hp yang sudah berhasil
mengalihkan fokusku dan mengecek pesan yang tertera di via whatsApp. “Hei,
masih online, jangan kemalaman tidurnya, jaga kesehatan Lia!” Beruntun pesan
yang aku dapatkan. Deg. Jantungku berdebar tidak terkontrol lagi. Bak anak
kecil yang mendapat hadiah ultah, aku melompat kegirangan sambil tersenyum,
menahan diri untuk tidak berteriak karena saking senangnya agar tidak
mengganggu teman kost yang sudah tertidur pulas.
Namaku Tahlia. Aku
adalah mahasiswi semester akhir Prodi Pendidikan Fisika di kampus orange alias
UNIPA Maumere. Karena berasal dari kampung yang sangat-sangat terpencil, disini
aku tinggal di sebuah kos-kosan tepat samping kiri kampus, yakni indah kos sampai
detik dimana akhir semester ini. Aku tidak paham dari mana bapak kost mendapat
inspirasi menamai kost ini “indah kos”.
Sementara kondisi kosnya mengundang iba orang yang berkunjung. Atau mungkin
dari sudut pandang bapak kos, bangunan yang lusuh dan reyot karena termakan
usia ini memiliki arti keindahan abadi baginya. Ahh entahlah, aku tidak ingin
memikirkan alasan bapak kos menamai kos-kosan ini dengan nama “Indah Kos.” Aku
tak ingin itu membuyarkan suasana indah malam ini.
Sekali lagi aku membaca
pesan dari pemilik nama Ryan yang tertera pada nama kontakku dan masih belum
ada niat untuk membalasnya. Dua kali, tiga kali dan senyum-senyum sendiri. Dialah
orang yang selama ini terus-terusan mengisi hati dan pikiranku. Sesekali aku
berusaha untuk berhenti memikirkannya namun nyatanya aku tak mampu. Aku melirik
dua teman yang sekamar denganku untuk memastikan mereka sudah tertidur pulas.
Dengkuran khas mereka meyakinkanku betapa mereka begitu menikmati tidurnya. Beruntungnya
aku, karena kalau sampai salah satu teman kos melihat kekonyolan di wajahku saat
ini, bisa-bisa aku dijadikan bahan lelucon selama berbulan-bulan.
Khawatir waktu yang
akan terus berjalan, segera aku membalas pesan dari Ryan dengan memberikan
pernyataan yang seperti biasanya sengaja kupancing supaya chattingan dengannya sedikit lebih
lama. Dan betapa senangnya aku karena
dia terus membalas pesanku dengan cepat.
Ini membuat level percaya diriku meningkat, kalau teman chattingnya cuma
aku. Sesederhana itu kebahagiaan yang kurasakan.
Tanganku kembali ke
papan keyboard, kali ini aku harus berhasil merajut untaian kalimat indah. Setidaknya
mewakili perasaanku selama ini hingga malam hari ini. Lagi-lagi suara getar hp
berhasil mengalihkan perhatianku. Dengan cepat kuraih hp, seketika senyumku
berubah menjadi raut yang sedikit kecewa saat membaca pesan itu. “WOII TIDUR!” si reseh Ovan mengirimkan
rentetan pesan dengan kalimat yang sama berulang-ulang. Dia tahu aku sangat
membenci hal itu. Dan itu artinya dia mengajak perang kata. Ditambah lagi pesan
dari orang yang diharapkan tidak kunjung muncul. Aku mencoba menahan perasaan
dengan berpikiran positif siapa tau pesan dari Ryan masih nyangkut disuatu
tempat selagi berusaha masuk ke hpku.
Ryan dan Ovan adalah
sahabatku. Kami berteman saat kami sama-sama berperang bermandikan pasir dan debu,
yang artinya sejak kami kecil. Kami bersekolah di SD yang sama dan ketika SMP
kami dipisahkan karena Ryan dan Ovan memilih untuk masuk Seminari. Akan tetapi
itu bukanlah perpisahan untuk selamanya.
Setiap liburan semester kami selalu berkumpul bersama untuk berbagi
cerita dari hasil pengalaman kami masing-masing. Aku dan Ovan memiliki
kemiripan sifat yang sedikit blak-blakan, tetapi Ovan memiliki sifat usil yang
sewaktu-waktu kambuh dan sangat menyebalkan. Berbanding terbalik dengan Ryan
yang sedikit pendiam, cuek dan selalu berhemat dalam berkata. Meskipun begitu,
mereka adalah orang-orang yang sangat berarti untukku.
Waktu terus bergulir.
Semakin lama aku merasakan betapa Ryan perlahan-lahan begitu jauh. Terlebih
lagi aturan di biara dan sekolahnya yang tidak memperbolehkan siswanya memegang
handphone. Aku bersyukur setidaknya masih ada Ovan yang meskipun jarang tetapi
masih bisa dihubungi. Lewat dia pula aku bisa tahu kabar Ryan. Namun ketika
kami sama-sama tamat SMA, Ovan memutuskan untuk meninggalkan biara dan melanjutkan
kuliah di salah satu kampus luar daerah. Sedangkan Ryan sendiri tetap setia
pada jalan yang telah dipilihnya yakni dia akan menjadi seorang imam. Sebelum
menjadi Frater mereka di kirim ke Atambua untuk mengikuti Novis selama 2 tahun.
Masih jelas di ingatanku, suatu sore ketika aku sedang santai menikmati acara
kecil-kecilan di rumah salah seorang tetangga dikampung, Ryan datang dan tanpa
basa-basi mengatakan Ia akan berangkat besok pagi. Untuk pertama kali dalam sejarah pertemanan
kami yang terjalin bertahun-tahun aku baru menyadari seorang Ryan yang cuek mau
tersenyum dengan begitu tulusnya. Aku memandang wajahnya untuk waktu yang lama,
ada setitik sedih yang merayap dan dengan cepat kutepis jauh-jauh. Ini awal perjuangannya, dan
sebagai teman yang baik aku harus mendukungnya tidak peduli bagaimanapun
sesaknya perasaan yang menyeruak dan hampir tumpah ruah. Ryan memelukku seakaan
mengerti akan kesedihan yang ku alami.
Tak terasa kini aku
sudah berada dijenjang Perguruan Tinggi. Kami masih sama. Ovan yang usil masih
menjahiliku. Bertahun-tahun jarak membuat kami hanya bisa berbagi cerita
lewat telfon, videocall dan chattingan. Aku bersyukur kejadian lalu tidak
membuat pertemanan kami hancur. Mengingat bagaimana perlakuanku ke Ovan kurang
lebih 2 tahun lalu saat Ryan masih menjalani masa Novisnya, dimana sesuatu yang
tidak kuduga, Ovan mengungkapkan perasaanya
padaku. Aku begitu marah, menganggap itu sebuah pengkhianatan dalam pertemanan.
Aku menjauhinya dan membencinya. Bagaimana tidak, dia yang paling dekat
denganku, paling mengerti tentang diriku, dia yang selalu ada untukku dan aku hanya menganggapnya sebagai
seorang teman, tidak lebih.
Seiring berjalannya
waktu aku merindukan keusilannya, dan aku sadar, saat aku membencinya dia
begitu terluka. Aku tidak bisa membencinya terlalu lama, aku mulai memahami
perasaanya. Sama seperti aku, dia menunggu hal yang tidak pasti. Sampai pada
suatu titik aku menyadari kalau aku tidak ingin kehilangan dia dan aku juga
tidak bisa menerima perasaanya. Aku bahagia ketika dia memelukku dan memahami
apa yang aku rasakan. Setidaknya pertemanan kami masih baik-baik saja. Dan dia
kembali menjadi dirinya yang menyebalkan.
Lalu bagaiamana kabar Ryan? Setelah menyelesaikan novis di Atambua,
dia melanjutkan studinya di Ledalero. Ada sedikit rasa bahagia kerena disana
aturanya tidak serumit di Atambua ataupun di SMA dulu. Jadi kami masih bisa
bertemu dan saling berbagi cerita lewat chatting atau telfonan. Dan seperti
biasa dia masih cuek dan hemat bicara. Huhh...Andai saja dia tahu apa yang aku
rasakan selama dia di Atambua, andai saja dia sedikit peka untuk mengerti bahwa
tiada hari tanpa aku bisa melepaskannya dari pikiranku. Andai saja aku diberi
kesempatan untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan, setidaknya rasa ini tidak
begitu menyiksa. Akan tetapi jika kesempatan itu ada, apakah aku sanggup untuk
mengungkapkannya? Seandainya aku sanggup mengungkapkannya, bagaimana kalau dia
tahu dan kemudian membenciku? Itu adalah hal yang paling kutakuti. Aku takut hal
yang sama terjadi lagi dan aku tidak sanggup jika Ryan membenciku. Disisi lain,
aku merasa begitu bersalah. Seorang teman yang baik seharusnya mendukungnya,
lalu apa yang aku lakukan sekarang? Dan....
“Braak”... lamunanku
buyar seketika. Hampir saja jantungku berpindah posisi ketika tangan salah satu
teman kamarku menyenggol gelas air minum yang berada diatas meja dekat tempat
tidurnya. Waktu dihandphone menunjukan pukul 23.13 Wita. Artinya aku
menghabiskan 53 menit hanya berhadapan dengan laptop menunggu balasan chatt yang
masih nyangkut entah dimana. Tangan yang asal mengetik dan pada akhirnya memori
membangkitkan kenangan lama. Perlahan udara mulai terasa panas ditambah lagi
pecahan gelas kaca yang menambah beban pekerjaan sementara temanku dengan wajah
polos menggeliat sebentar kemudian kembali menikmati mimpinya. Dengan gemas
segera kubersihkan pecahan kaca tersebut...
“Lia mau kemana? Jalan sama-sama lah, rumah kita kan searah” terdengar suara yang tidak asing memanggil dari belakang. Ketika aku membalikan wajah, Ryan dengan sedikit berlari kecil mengejarku. Aku hanya tersenyum kecil sambil melangkah pelan supaya kami berjalan bersama-sama. “Eh, kau tau, sekarang kami lagi liburan, sering - sering jalan sama-sama e? Kalau mau kemana - mana harus ajak-ajak, pokoknya harus.” Ryan nyerocos lagi. Akhirnya aku tidak bisa sabar dan segera menanggapinya. “Ryan kenapa hari ini? Aneh loh orang yang hemat bicara tiba-tiba seperti wartawan infotaiment?” Aku membalasnya dengan sedikit bercanda. Dia tertawa kecil. Hal itu membuatku sedikit berani untuk memegang tangannya. Sesaat dia menatapku tapi akhirnya membalas menggengam erat tanganku. Ada sedikit getaran yang mengalir dalam dada. Biarlah cukup aku yang tau apa ini. Kami tersenyum dan terus berjalan. Kokok si jago menyadarkanku pada pukul 05.00 pagi. Aku terbangun dan menyadari ternyata sebegitunya aku memikirkan dia sampai terbawa mimpi. Sahabatku, cintaku, duniaku... Jangan ragu teruslah melangkah, tetaplah tersenyum, ingatlah dibelakangmu banyak yang menopangmu dan menaruh harapan yang begitu besar pada dirimu. Kau yang terindah dan memiliki tempat yang indah dihati.
--------------------------------------------------
1 Komentar