(“Inna, bapak ada bawa uang. Mari sini ikut bapak pergi beli seragam sekolah yang baru. Kan hari senin Inna sudah masuk sekolah.” Ujar sang bapak pada anaknya dari balik pintu pagar panti asuhan. Tak ada jawaban dari gadis kecil itu, ia tertunduk dan menitikan air mata tanpa berani melihat sorot mata bapaknya.)
Langit begitu gelap tanpa rembulan dan para bintang. Membuat malam begitu pekat dan kelam. Dan dalam kegelapan yang sunyi, sebuah keluarga saling mendiamkan dan begelut dalam pikirannya masing-masing. Keluarga yang biasanya bersenda gurau dan terkadang ada pertengkaran kecil di antara kakak beradik, terdapat percakapan romantis antara sepasang suami istri dan doa keluarga bersama, malam ini semuanya tak ada. Mereka diliputi keheningan, entah mengapa.
Tiba-tiba sebuah sandal melayang dari tempat laki-laki itu dan mendarat tepat di wajah istrinya. Pakkkk, bunyinya memecahkan kesunyian. Keempat anak mereka mulai menangis. Tidak puas melempar sandal pada istrinya, laki-laki itu bangkit berdiri dan ingin menghampiri istrinya. Namun ia diadang oleh putra sulungnya. Melihat adik-adiknya menangis dan mamanya hendak dipukuli oleh bapaknya membuatnya berani untuk mengadang. “Kalau bapak berani pukul mama, bapak harus berhadapan dengan saya.” Ujar putra sulungnya. Karena diadang oleh putra sulungnya, laki-laki itu pun berbalik dan menghantam tv untuk melampiaskan amarahnya yang tidak bisa ia tumpahkan pada istrinya. Dan ia pun pergi meninggalkan rumah.
“Ini hari saya sudah tidak bisa tahan lagi lihat bapak yang selalu marah-marah dan pukul mama. Saya sudah besar, bukan anak kecil lagi. Ini malam saya berani pukul bapa, bunuh pun saya sanggup. Tinggal lihat nanti saya atau bapak yang mati ini malam.” Kata sang anak sulung. Wanita itu menyeka airmatanya dan memeluk putra sulungnya dan berkata, “Nong, seburuk apa pun dia tetap bapakmu, tidak boleh omong seperti itu.
Pemberontakan dari anak itu bukan tanpa sebab. Tetapi dari sabar yang sudah tidak mampu lagi dibendung. Dan di sudut kamar seorang gadis kecil meringkuk dan menangis sejadi-jadinya. Entah apa yang membuatnya kali ini menangis begitu pilu, tidak seperti biasanya. Pertengkaran kedua orang tuanya kali ini bukan yang pertama. Tangisan malam ini begitu menghancurkan hatinya. Dia merasa bahwa kebahagiaan akan direnggut darinya. Ia merasakan sebuah perpisahan akan terjadi dan dia sungguh tidak ingin memilih.
Kegundahan dan keresahan gadis kecil itu terjawab sudah pada keesokan harinya. Saat suaminya pergi bekerja, putra sulungnya dan putri tertuanya sedang di sekolah, wanita itu mengemasi barang-barang dan membawa dua putrinya dan putra bungsunya pergi meninggalkan rumah. “Ma, kita mau kemana?” Tanya gadis kecil itu. “Kita mau pergi jauh Inna.” Gadis kecil itu terdiam.
“Selamat siang, ma. Saya lapar sekali, saya mau makan.” Tak ada sahutan. Putra sulung itu menuju ke kamar dan melihat bahwa pakaian mamanya dan ketiga adiknya sudah tidak ada. Anak itu langsung menuju ke kamarnya, mengambil selimut dan menutupi seluruh tubuhnya dan mulai menangis. Melihat kakaknya menangis, adik perempuannya itu tahu apa yang terjadi, mama membawa adik-adiknya pergi. Gadis itu yang dulunya suka berdandan dan sangat feminim, setelah kepergian mama dan ketiga adiknya membuatnya berubah 180 derajat. Dia berubah menjadi anak yang pendiam dan tomboy. Dan kakaknya yang dulu sangat riang kini menjadi pendiam dan jarang sekali tersenyum.
Setelah 6 bulan sejak perpisahan tanpa pamit itu, akhirnya laki-laki itu mendengar kabar bahwa istri dan anaknya ada di panti asuhan milik susteran di kota mereka, ia pun segera pergi ke tempat itu. Sesampainya disana ia tidak diperbolehkan menemui istrinya, karena itu adalah permintaan istrinya kepada kepala panti untuk tidak membiarkan laki-laki itu masuk. Satu minggu berturut-turut laki-laki itu datang dan hanya bisa berdiri dibalik pintu pagar. Tak kenal putus asa dia selalu datang untuk meminta kesempatan kedua pada istrinya untuk memperbaiki rumah tangga mereka.
Gadis kecil itu mendengar bahwa ayahnya sudah beberapa hari ini datang. Namun mamanya melarangnya agar tidak menemui bapaknya. Gadis kecil itu hanya menangis dan menangis, ia sangat merindukan bapaknya. Pelukan hangatnya, ajarannya, masakannya, merindukan saat bermain bersama, pokoknya ia sangat ingin memeluk bapaknya. Dan saat rindu itu terlalu membara, gadis kecil itu berani untuk keluar dari kamar saat mamanya tidak mengawasinya dan ia pun berlari sekuat tenaga ke luar, ke tempat di mana bapaknya berada.
Gadis kecil itu memegang pintu pagar sambil menangis sejadi-jadinya. Dia amat merindukan bapaknya, 6 bulan tanpa kehadiran bapaknya membuat hatinya begitu hancur. Menghadapi lingkungan yang baru membuatnya takut dan selalu memanggil sosok ayahnya untuk hadir karena ia begitu ketakutan. Gadis kecil itu merasa begitu terpenjara, hanya mampu melihat bapaknya dari balik pintu pagar tanpa bisa memeluknya.
Bapaknya tersenyum kepadanya dan berkata. “Inna, ini bapak ada bawa uang untuk kita beli seragam baru untuk sekolah. Nanti inna masuk kembali di sekolah yang di depan rumah kita. Mari sini keluar ikut bapak.” Melihat senyuman bapaknya membuat hati gadis itu begitu hancur, mendengar kata-kata bapaknya membuat ia tak mampu menatap sorot mata ayahnya. Hatinya serasa teriris-iris. Kakinya lemah, tubuh kecil itu tak mampu menahan kehancuran perasaannya yang begitu dahsyat. Ia menjulurkan tangannya keluar dan dengan tangan kecil itu ia menggenggam erat tangan bapaknya.
Tiba-tiba dua orang polisi keluar dari ruangan kepala panti dan menggendong gadis kecil itu. Lalu polisi lainnya membentak laki-laki dengan begitu kasar dan mengusirnya seperti penjahat yang sangat hina. Gadis itu meronta-ronta, ia ingin kembali ke bapaknya, ia tak tega melihat ayahnya di bentak dan diusir, diperlakukan seperti penjahat. Mengapa bapaknya harus diperlakukan seperti itu.
***
_____________________________________________
Lidwina Rusmawati, Mahasiswi Semester 5 Program Studi Akuntansi di Universitas Nusa Nipa Maumere
0 Komentar