(Mengulas salah satu puisi Mario Lawi dalam kolom Kompas 2012).
Oleh: Yohan Mataubana.
“Untuk kesekian kalinya pemerkosaan harus terjadi / Kamu orangnya/ Datanglah/ makan dan minumlah/ inilah perjamuan kata".
Barangkali kalian pernah membaca puisi-puisi seorang penyair muda kontemporer Mario Lawi di majalah Tempo, Kompas, dan media-media lainnya. Saya melihat karya-karyanya unik, padat makna dan tidak mudah untuk dimengerti. Pada suatu kesempatan seorang teman mengatakan bahwa menulis puisi seperti penyair Mario terlalu egois( menulis untuk dirinya sendiri) sebab sulit dimengerti.
Lalu saya teringat akan diskusi sederhana bersama penyair Feliks Nesi. Saat itu beliau berkunjung ke Seminari Lalian tempat dulu benih sastra diberikan kepada saya. Baginya sastra secara khusus puisi, "untuk menemukan maknanya seorang pembaca harus membaca karya itu secara berulang-ulang, tidak hanya sekali baca lalu coba maknai kata-perkata dan berusaha untuk menerima puisi itu ke dalam dirinya artinya maknai puisi itu sesuai dengan isi hatimu”. Karena puisi adalah bahasa jiwa di mana setiap orang menganggap puisi sebagai konsolasi dan desolasi hidupnya (reflektif).
Sebagai pencinta sastra, saya kagum dengan perkataan Bung Feliks_seorang penyair asal Bitauni yang pada tahun 2018 yang lalu berhasil memenangkan sayembara sastra lewat novelnya yang berjudul: Orang –Orang Oetimu di tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh dewan seni dan budaya DKIJ.
Berangkat dari perkataan Feliks dan terlepas dari kesuksesannya, saya pun mencoba, membaca sebuah puisi yang ditulis oleh Mario Lawi dalam Koran kompas. Di sini saya ingin membuktikan bahwa puisi itu menantang, rumit kalau hanya dibaca sekali tetapi kalau ditelaah secara baik puisi sangat kaya makna reflektif yang bisa kita petik untuk mematangkan logika berbahasa dan berpikir jika dibaca berulang-ulang dengan hati dan pikiran terbuka.
Mungkin ini gila dan saya harap kalian tidak gila ketika puisi ini menjengkelkan atau cukup konyol dalam benak kalian. Tetapi dia akan memerkosa kalian dengan sejuta makna.
Ruang Tunggu 1
Menahan godaanMU
Eva dan ular bersihadap
Kami mengelus-elus dada
Entahlah senyuman ular
Ataukah kerling Eva
Menggetarkan belulang
(Surabaya,2012)
Ketika membaca puisi di atas spontan ada rasa emosi, jengkel bahkan sampai ingin memaki. Siapa pun pasti tidak akan mengerti puisi semacam ini, tapi toh puisi yang tidak dipahami seperti ini masih saja dipilih redaktur Koran Kompas sebagai karya sastra yang layak dipublikasikan. Mengapa puisi seperti ini di publikasikan? makna apa yang mau kita petik. Mungkin cukup membodohkan jika saya mengajak kalian untuk membaca dan menganalisis kata perkata. Tapi disini pembuktian sastra dikuatkan, seperti apa yang dikatakan Felix Nesi.
Ada Apa dengan “Ruang Tunggu”
Bait pertama puisi dikatakan “menahan godaanMU”. Di ruang tunggu dimana saja bisa jadi Mario sedang berusaha menahan godaan (cobaan) dari TUHAN hal itu terlihat dari peryataan kepemilikan “MU”huruf besar. Ketika saya membaca ayat kedua dan ketiga, menyakinkan saya untuk semakin bertanya, cobaan berupa apa yang Tuhan berikan kepada penulis. Kemudian jawaban itu jelas dikatakan bahwa cobaan itu berupa wanita(Eva) dan ular yang mengidentikkan keinginan daging(bdk. kitab kejadian).
Pada bait ketiga ketika godaan itu datang dikatakan “kami mengelus- elus dada”cukup jelas dalam realitas, ketika kita melihat seorang perempuan yang seksi kebanyakan kita punya hasrat atau gairah untuk menyatakan “sesuatu”(boleh saya katakan Mario ini orangnya norma). Mungkin dalam dadanya tersimpan “sesuatu”dan saya yakin itu berkaitan dengan hati_perasaan cinta atau ingin memiliki gadis itu.
Berkaitan dengan persoalan hati banyak di antara kita jatuh dalam perasaan cinta kepada seseorang (khusus) dari banyak hal bisa jadi saat pertemun pertama melihat senyumnya yang manis, bisa juga karena kedewasaannya, kesemokannya, stylenya dan lain sebagainya. Tidak menutup kemungkinan kekudusan dari orang itu pula.
Saya amat yakin satu dari sekian pernyataan saya di atas, dilakukan Mario kala melihat perempuan di Surabaya (tempat ia mengalami tragedi ruang tunggu). Hal ini amat jelas dikatakan pada bait puisi keempat dan kelima. “senyuman “ dan “kerling” dua kata ini mengambarkan bahwa penulis tertarik dengan dua hal tersebut. Namun saya mulai bertanya–tanya dalam batin saya , mengapa senyuman ular dan bukan senyuman eva? padahal eva itu perempuan yang juga adalah objek yang menarik hati penulis dan orang lain ( saya katakan orang lain karena penulis memakai trem “kami” yang berarti banyak orang dan banyak orang itu tidak tahu siapa).
Namun setelah saya membaca ulang dan menelaah apa sebetulnya yang mau dikatakan Mario di ruang tunggu itu. Apakah dia hanya menunggu atau ada sesuatu di balik kata “tunggu” itu untuk dia. Kembali saya membaca, lalu di sini saya menemukan bahwa ada objek dibalik ruang tunggu yakni kerling Eva dan senyuman ular menjadi sebuah perasaan “ingin”, bisa jadi Mario ingin mencium kerling perempuan itu, sehingga perasaan itu “menggetarkan belulang”. Artinya bahwa cukup realistis perasaan manusia dikala menjumpai seseorang yang membuat perasaannya bergejolak yang berakibat terbawa perasaan haru dan bahkan punya niat untuk memiliki orang itu. Untuk hal ini bukan Mario saja yang alami. Pernah teman saya juga mengalami hal serupa waktu masih SMA. Ketika melihat seorang perempuan ia jatuh cinta Pada senyum seorang wanita yang memiliki lesung pipi, dari perasaan itu menimbulkan banyak tragedi, ia mengaga di hadapan wanita itu, bahkan air liur pun meleleh dibiarkannya begitu (hhh cukup memalukan dan saya harap para pembaca sekalian tidak).
Ruang Tunggu di Masa Prapaskah
Di ruang tunggu telah terjadi suatu tragedi iman antara wanita dan pria. Ruang tunggu ibarat taman Eden. Di mana terdapat pergolakan batin manusia, kebahagiaan manusia, dan sekaligus kejatuhan manusia pada tragedi berdarah dosa.
Tentang ruang tunggu saya mau mengaitkan beberapa poin inti tentang subjek (penulis) dan objek(Eva) : Laki-Laki menjadi seseorang yang kerap tertarik pada wanita dari segi kecantikan, sedangkan wanita identik dengan penggoda dan satu hal yang paling menonjol yang mau di katakan Mario adalah hasrat laki – laki itu mendominasi biologis.
Tiga poin inti di atas menjadi catatan besar sebetulnya untuk kita di masa prapaskah dan paskah. Catatan refleksi atas puisi Mario ini, sebenarnya ingin mengajarkan kepada kita secara khusus kaum pria jangan muda untuk terperangkap dalam keindahan atau rayuan seorang wanita. Wanita adalah penerus hawa(orang yang menjadi asal kejatuhan dosa manusia), sedang kita adalah adam ( orang yang bijak dan kuat). Maka kita sepatutnya menjadi lelaki bijak, yang tak boleh mudah jatuh pada kenikmatan sesaat seperti Eva. Atau mungkin di antara kita ada yang mau terus dikungkung hasrat pada wanita?.
Di “Ruang Tunggu” masa ini, kita bisa kaitkan dengan situasi sekarang yakni masah Prapaskah, masa penantian sekaligus pertobatan, masa di mana kita mau membersihkan diri dan menyambut kedantangan sang Juruselamat, sama seperti Mario menanti seorang wanita di dalam puisi “Ruang Tunggu”. Mari kita sama-sama menyiapkan diri sambil mengadakan tobat sehingga ketika menyambut kebangkitan TUHAN_KEMENANGAN YANG MENYERUPAI KEKAL. Demikian halnya seperti diri kita pula, bangkit dari keterpurukan iman, menyeruput darah dan air kehidupan dari TUHAN.
Akhirnya saya ingin menyampaikan apresiasi yang besar kepada Mario yang telah berani “memerkosa” saya dengan puisinya. Puisinya memang gila tetapi yang lebih gila dari puisi adalah dirinya, semoga dia hanya mampu memerkosa orang dengan puisinya(para pembaca jangan serius yah) tidak dengan berkelamin biologis(hh. Maafkan saya kaka Mario,sekedar wora buat para pembaca). Jika terjadi berkelamin biologis maka saya tidak tahu dosa keberapa yang ia catat dalam sejarah hidupnya( hetttt, tapi bohong). Dan untuk kesekian kalinya saya katakan mohon maaf saya terlanjur jatuh cinta pada puisi di “Ruang Tunggu”. Saya berharap ada puisi lain, di ruangan lain, dengan situasi yang lain. Profisiat Mario si penyair gila. Saya senang membaca puisimu.*
#catatan:tulisan ini hanya bersifat latihan bagi
penulis dalam mengulas karya sastra.
3 Komentar
Berdasarkan kitab suci, Hawa adalah penyebab dosa asal manusia, yg menggoda Adam untuk jatuh ke dalam dosa bersamanya. Disini Hawa yang paling disalahkan. Jangan hanya menyalahkan hawa. Adam sebenarnya bisa saja menolak, tetapi dia menerimanya, padahal ia tahu dia tidak boleh memakan buah terlarang itu. Artinya Adam dengan sadar, tahu dan mau ia melakukan dosa tersebut, itu adalah pilihannya sendiri, untuk jatuh ke dalam dosa. Itu salahnya sendiri, tanpa paksaan.
Di paragraf ini seolah-olah menyudutkan kaum perempuan.
Pertanyaannya, apabila laki-laki terbuai dgn kemolekan tubuh seorang perempuan dan melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan itu, apakah ini masih bisa dikatakan kesalahan seorang perempuan yg dilabeli sebagai "penggoda" dalam kalimat "wanita adalah penerus hawa (orang yg menjadi asal kejatuhan dosa manusia). Disini, perempuan tdk melakukan aksi untuk menggoda laki-laki. Kalimat selanjutnya "sedangkan kita adalah adam (orang yg bijak dan kuat)". Seolah-olah perempuan bersalah atas nafsu dan hasrat bejat seorang laki-laki. Alangkah baiknya bila kaum laki-laki lebih menjaga pikirannya ketika melihat tubuh seorang perempuan?