*Mengulas puisi “Mama Menganyam Noken” karya penyair Gody Usnaat dan Mengenang sejenak Fatmawati Si Pahlawan Merah Putih.
Oleh: Yohan Mataubana.
Lukisan Elos Fr. |
Belum lama ini tersiar kabar dua orang sastrawan muda NTT dinyatakan lolos seleksi Kuasala Sastra Katulistiwa tingkat nasional periode penelitian 2019-2020. Ketika membaca nama mereka saya sempat terhenyat bukan karena saya kaget tapi saya bangga ternyata ada dua orang penulis yang berlatar belakang budaya dawan ini, mampu menorehkan kejayaan dalam dunia tulis menulis. Sebut saja Gody Usnaat peraih nominasi 5 besar Kuasala Sastra Katulistiwa bagian antologi puisi mengayomi karya terbaiknya “ Mama Menganyam Noken” dan unu Feliks K. Nesi dengan buku novelnya “Orang-Orang Oetimu.” Berhasil masuk nominasi 5 besar Kuasala Sastra Katulistiwa bagian novel. Kedua-duanya kurang lebih menulis dengan cinta kasih dan sayang mereka terhadapat latar budaya, lingkungan sekitar dan secara umum peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.
Saking bangga terhadap kedua tokoh ini, saya kemudian menaruh hati khusus pada puisi Gody untuk diulas pada momen hari pahlawan. Bagi saya pahlawan terbaik dalam hidup adalah Mama. Mama adalah pejuang masa depan anak. Seperti yang dikisahkan Gody bahwa mama di malam hari dengan bulan yang sendiri lagi malam yang diam, mama masih dan tetap berjuang mengupas nafkah pada pekerjaannya. Sebuah pekerjaan menganyam noken. Noken bagi mama-mama di Papua tempat Gody merantau adalah suatu pekerjaan yang mulia dan sudah menjadi kearifan lokal yang mengidentifikasi kehidupan budaya. Tidak hanya budaya, anyaman noken juga menjadi benda bernilai tukar uang, yang setidaknya bisa mendongkrak baik perekonomian dalam keluarga maupun pemerintahan.
Barangkali kali kalian penasaran dengan puisinya. Maka saya tampilkan sejarah jujur puisinya :
Mama menganyam Noken
berapa lama mama menganyam noken?
selama dan sejauh perjalanan kesabaran bumi
menumbuhkan keladi
sambil menganyam ia menyaksikan
bulan yang sendiri
malam yang diam
menganyam seperti menanti anak dilahirkan
sebelum menyaksikannya kembali.
Biara Kasisiakum,2017
Mama Menganyam Noken Untuk Masa Depan Anak.
Noken adalah tas tradisional masyarakat Papua yang terbuat dari serat kulit kayu. Hampir sama dengan tas pada umumnya dan menurut teman saya pace Manfret kegunaannya sangat multi fungsi. Dengan noken kita bisa menaruh makanan, pakaian dan perlengkapan khusus. Pembuatannya sangat eksotis tradisional karena cara pembuatan serta bahanya alami tanpa dibuat bantu oleh benda-benda canggih. Di Papua, Gody berjumpa dengan noken ini. Penulis rupanya terpikat oleh kearifan lokal orang Papua. Ia melihat bahwa kerja keras para ibu di Papua mengayam noken tidak putus- putusnya. Barangkali gody mengangumi semangat para ibu di sana seperti yang tertulis pada bait pertama berapa lama mama menganyam noken?/selama dan sejauh perjalanan kesabaran bumi/menumbuhkan keladi. Ia melihat kesabaran para Ibu tiada hentinya seperti bumi yang tetap utuh mengasihi kehidupan.
Berlanjut pada bait kedua gody memasukkan diksi yang menonjolkan ketabahan dan keramahan mama dan alam. sambil menganyam ia menyaksikan /bulan yang sendiri/ malam yang diam. Rasanya puisi ini melatarkan situasi mama di malam hari di saat ia menganyam Noken, bulan sementara memancarkan sinarnya pada kesemptan itu pula ia mengayam dengan situasi demikian hening seakan mama sementara ditemani alam yang ramah.
Sampai di sini saya menyadari bahwa puisi adalah bahasa jiwa yang ditulis berdasarkan apa yang kita temui dalam realitas lingkungan tempat kita berada. Gody yang merupakan anak perantau berhasil mempresentasi relasi batin dan lingkungan sekitar dengan amat sederhana namun dilukiskan dengan pesan yang mendalam.
Dapat dilihat di bait ketiga penulis mempertegas perjuangan seorang Mama. Mama semacam seorang pahlawan yang gigih akan usaha memperoleh kehidupan yang baik. Dia mengibaratkan perjuangan Mama itu seperti memproses penantian kelahiran anak. menganyam seperti menantian kelahiran anak. menganyam seperti menanti anak dilahirkan/sebelum menyaksikannya kembali.
Mama menganyam Noken. Sebuah puisi yang sejatinya menawarkan berbagai warna moral yang ingin kita maknai. Secara pribadi saya menemukan inti dari puisi Gody bahwa perjuangan mama besar sekali di tanah Papua. Mereka tak mengenal lelah meski malam tanpa lampu hanya bulan yang bersinar mencantumkan berkat dari keringat tangan mama. Perjuangan mama ini semata diyakini demi menghidupkan anak-anaknya.
Kalian juga harus tahu kalau noken mempunyai simbol Kehidupan yang baik, cinta dan kesuburan di tanah Papua. Sehingga saya dapat menafsirkan kalau Gody mau mengatakan bahwa Mama – Mama di Papua tidak sekeder menganyam noken tetapi lebih dari itu dia sedang menganyam masa depan penerusnya. Menganyam noken itu Menganyam kehidupan,mengikat cinta dalam keluarga dan juga mengikat kehidupan bersama alam Papua.
Fatmawati Menjahit Bendera untuk Masa Depan Bangsa
Mengulas puisi Gody membawa ingatan saya pada salah satu pahlawan bangsa namanya Ibu Fatmawati. Perjuanganya terhadap kemerdekaan bangsa tidak terlepas dari usahanya menjahit benderah pusaka Merah Putih.
Saya jadi ingat Film jadul yang menayangkang tentang bagaimana Sukarno mengadakan pergerakan di luar rumah demi kemerdekaan bangsa sementara Fatmawati wanita yang berasal dari bengkulu ini sibuk mengerakkan jemarinya di dalam rumah untuk menjahit masa depan Indonesia. Dalam keheningan ia mengerakkan jari – jemarinya membentuk suatu perjuangan yang hampir sama di lakukan oleh mama – mama di papua. Jika mama- mama di Papua menganyam Noken untuk masa depan anak-anak maka Fatmati menjahit bendera demi masa depan Bangsa.
Perjuangan Fatmawati diyakini saya sebagai seorang pahlawan dari kaum wanita yang tidak sekedar bekerja dalam rumah, tetapi juga bekerja menghidupkan kehidupan. Apresiasi saya yang sangat terhadap ibu Fatmawati yang telah menjadi contoh Pahlawan dari Kaum Mama.
Semoga dari Mama menganyam Noken dan gerakan Ibu Fatmawati yang menjahit benderah Pusaka.kita pun turut mengambil bagian dalam mengalokasikan bakat yang ada demi memajukan kehidupan bangsa secara umunya dan juga pribadi kita secara kususnya, Kita pula patut berefleksi sambil mengusap kenangan keringat mama kita. Ingat Mama adalah Pahlawan masa depan Kita masing-masing.
Akhirnya saya ucapkan salve buat Gody. Apresiasi cinta diberikan buat pahlawan Fatmawati dan juga mama di Papua dan yang tak kala juangnya, juga mama kita sendiri.
“Salam Jasmerah” jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Ledalero, 10/11/2020.
---------------------------------------------------------------------Penulis
Yohan Mataubana.
0 Komentar