(gambar by pixabay.com)
Analisis dan Interpretasi puisi
"Ibu Wulanggitang Sibuk" karya Karol Kelen
Ketika daun berbisik pada akar
bahwa ia melihat Ibu Wulanggitang sibuk
membubuh lapikan kepala agar tidak basah kuyup
dan demam oktober.
Ia bingung melihat domba-domba
yang heran mau buat apa, ulah
tulah kesekian setelah banyak mata telah
nyaman menatap singgasana Allah, terkapar
pada tragedi 2019.
Hidungmu menginginkan pulang menjemput desember
dengan tarian gemilang pada galeri-galeri
lama, sebelum kejadian seorang bapak
meluapkan tangis harap anaknya,
jatuh menindisi lahan subur kata pendakwa.
Hari mendongkrak menjadikan malam
terkejut, rumpunan domba elok
menggelinding hayat yang bermain inggo,
dalam tubuh batu bopeng di hinggap
nyawa tempo doloe.
Apakah kau sedang minum teh jus setelah
kau dan lewotobi menggocek bola kehidupan, melawan
sahabat karib di sebuah lembah planet mars?” jerit krypta misteri
setelah kau tak lagi.
Hokeng, Hujan Karat 2024.
“Ibu wulanggitang sibuk” merupakan judul puisi dari salah satu karya Karol kelen seorang penggemar sastra dari kalangan SMAS seminari san dominggo Yoseph Karol Wawo Kelen atau biasa dikenal dengan Karol Kelen merupakan seorang penulis karya sastra dan tulisan non-fiksi, beberapa tulisannya dimuat dalam majalah Warta Flobamora, reportaseNTT, KabarNTT dan majalah-majalah Seminari san Dominggo Hokeng. Karol juga merupakan penulis naskah teater, salah satu naskahnya dipentaskan pada Festifal Budaya Flores Timur 2024.
. Puisi ini memiliki ambiguitas dan ke-abstrakan yang tinggi dengan model analogi deklaratif, puisi yang menjelaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar dengan menggunakan hal yang sudah dikenal. Karol juga menjadikan karya ini dengan penyajian sastra imajinatif, karya yang terinspirasi dari nalar atau pemikiran yang dipahat olehnya dari fenomena yang sedang terjadi dan disaksikan olehnya secara langsung.
“Ibu wulanggitang sibuk”. Puisi ini menggambarkan fenomena alam erupsi gunung lewotobi laki-laki yang kininya sedang terjadi sedari akhir desember 2023 dan dampaknya menyebar luas ke segala pelosok NTT saat intensitas level Gunung memuncak drastis pada 4 november 2024 lalu. Dalam puisi yang ditulis oleh penulis pada 23 oktober ini menyajikan kekuatan prediksi imajinasinya tentang dampak erupsi gunung lewotobi laki-laki selanjutnya yang nantinya dari dampak tersebut akan mecekam warga dari keterjagaan nyawa mereka yang berada di lereng gunung lewotobi laki-laki.
ketika daun berbisik pada akar
bahwa ia melihat ibu wulanggitang sibuk
membubuh lapikan kepala agar tidak basah kuyup
dan demam oktober.
Pada bagian ini, penulis merangkul antisipasi Masyarakat yang berperang mempertahankan hidup mereka beralaskan atap seng yang terus saja dikuyah abu vulkanik. Penulis melihat kisah realistis yang sedang terjadi terkait aktifitas Masyarakat setempat dengan keprihatinan yang mendasar sesuatu yang besar akan terjadi dan jika tidak diantisipasi maka para warga akan mencari tempat tinggal untuk berteduh. Daun dan akar yang dimaksudkan adalah mata alam yang melihat tingkah laku manusia dalam mempertahankan hidup, sedangkan ibu wulanggitang yang dimaksudkan adalh ibu kota dari kecamatan wulanggitang sendiri yakni desa boru. Ibu wulanggitang sibuk mempetahankan hidupnya dari wajah murka lewotobi.
Penulis dengan bijak mencantumkan elemen mendasar dari pesisir hokeng yaitu para siswa SMAS seminari san dominggo yang diselimuti ketidaktahuan harus membuat apa dan bagaimana dengan situasi yang dirasakan mereka.
ia bingung melihat domba-domba
yang heran mau buat apa, ulah
tulah kesekian setelah banyak mata telah
nyaman menatap singgasana Allah, terkapar
pada tragedi 2019.
Penulis memberi asumsi bahwa murka lewotobi merupakan tulah yang yang titahkan oleh Allah kepada alam agar sesegera mungkin menegor perbuatan menyimaang yang dilakukan oleh manusia baik secara transparan maupun perilaku terbuka. Agar dari peneguran keras itu, manusia dapat sadar dari kebutaan menindas kebaikan sehingga manusia juga menghayati perefleksiannya sebagai keluarga alam yang memberi dukungan material maupun non-material.
hidungmu menginginkan pulang menjemput desember
dengan tarian gemilang pada galeri-galeri
lama, sebelum kejadian seorang bapak
meluapkan tangis harap anaknya,
jatuh menindisi lahan subur kata pendakwa.
Menyongsong tangga-tangga desember, tentunya kebanyakan orang merindukan desember yang mesra. Desember yang penuh kebahagiaan dan rasa kekeluargaaan yang pekat, malah disini penulis memperkuat kekuatan imajinasinya bahwasanya desember kali ini hidung warga wulanggitang pastinya akan menginginkan aroma anekaragam masakan natal yang diaduknya, diraciknya sebelum kejadian soerang bapak yang adalah gunung lewotobi laki-laki yang tidak berkesudahan menyudahi air mata anaknya. gunung lewotobi laki-laki malah membuat bendungan besar untuk ketersediaan menampung pilu warga yang menetap dilerengnya. Lahan wulangitang yang berbranding subur, kini telah terhapus dan mungkin saja dicantumkan lagi jika pulih Kembali. Terpaksa, kerinduan warga hanya bisa dirasakan lewat galeri-galeri lama dalam kenangan mereka.
hari mendongkrak menjadikan malam
terkejut, rumpunan domba elok
menggelinding hayat yang bermain inggo,
dalam tubuh batu bopeng dihinggap
nyawa tempo doloe.
Semakin akhir puisi ini, sangatlah semakin abstrak untuk membaca pikiran penulis. Kekuatan imajinasi penulis mencapai titik klimaks. Harafiahnya, penulis melihat suatu hari entah kapan, malam akan terkejut dibangunkan oleh dongkrakan hari. Selebihnya tak dapat ditafsirkan karena analogi yang sulit untuk ditafsir.
Yang merupakan puncak tulisan puisi ini sekaligus titik kekuatan imajinasi penulis dilihat dari bait akhir puisi dan sulit untuk ditebak.
“apakah kau sedang minum teh jus setelah
kau dan lewotobi menggocek bola kehidupan, melawan
sahabat karib di sebuah lembah planet mars?” jerit krypta misteri
setelah kau tak lagi.
PENULIS : Chelsea Sandra Loe
0 Komentar