PENYESALAN TANTA MARTA || CERPEN RISKY AGATO

 

(gambar by pixabay.com)

 

“Itu kali terakhir om Gaspar melihat kekasihnya tanta Marta. Seakan-akan penantian bertahun-tahun lamanya selesai begitu saja. Begitu juga rindu. Seolah-olah sudah dibayar tuntas, tak seperserpun yang tersisa. Sudah belasan tahun dilewati bersama akhirnya om Gaspar memutuskan untuk berpisah dengan tanta Marta. Memang menjadi suatu kebenaran bahwa manusia hanya punya air mata untuk menerima kepergian. ”

 


                Berita kepergian tanta Marta menyebar begitu cepat ke seluruh penjuru desa. Hampir di setiap sudut-sudut rumah warga keluarga om Gaspar selalu dibicarakan. Semua orang tahu persis hiruk pikuk keluarga om Gaspar. Keluarga om Gaspar dicap sebagai keluarga yang damai. Pantas menjadi teladan bagi keluarga-keluarga yang lain. Banyak orang di desa mengaitkan-ngaitkan keluarga kecil om Gaspar dengan keluarga yang lain. Seperti keluarga om Stanis. Istrinya tanta Reni, sering menangis. Beberapa hari yang lalu, om Stanis ketahuan selingkuh oleh istrinya dengan salah seorang janda yang memiliki satu anak di desa sebelah. Meskipun sudah empat tahun menikah, om Gaspar dan tanta Marta belum juga dikaruniakan seorang anak. Walaupun begitu, pasangan ini tidak pernah punya niat untuk berpisah. Semua masalah diselesaikan dengan saksama di meja makan kadang-kadang di dalam kamar tidur. Tidak ada satupun tetangga di desa yang pernah mendengar om Gaspar bertengkar dengan istrinya. Meskipun ada satu dan dua kata yang sering membuat suasana semakin panas tetapi tidak pernah tangan mendarat di badan. Keduanya sudah dikawinkan secara sah seturut ajaran gereja Katolik dan memang keduanya sama-sama terlahir dari rahim Katolik.

                Tanta Marta dikenal dengan gadis yang menawan. Wanita yang soleh dan lebih banyak menghemat kata. Parasnya cantik. Dia gadis desa yang merupakan tetangga kampung om Gaspar. Saat ini tanta Marta tidak memiliki pekerjaan khusus. Dia hanya sebagai ibu rumah tangga tanpa punya anak. Latar belakang pendidikanya hanya sampai pada titik SMA. Dan ia tamatan dari satu-satunya SMA Negri di desa. Tanta Marta tidak melanjutkan pendidikanya karena ekonomi keluarganya kandas. Ekonomi macet, macet sekali. Berbeda dengan om Gaspar. Om Gaspar sangat dihormati oleh orang-orang di desa. Dua tahun yang lalu om Gaspar baru saja mendapatkan gelar sarjana hukum di salah satu universitas di kota. Jadi selama menempuh pendidikanya om Gaspar harus merantau. Tinggal empat tahun di tanah orang, beberapakali pergi pulang ke rumah dan mengarungi lautan. Meski mendapat gelar sarjana hukum, untuk sementara om Gaspar bekerja di kantor desa. Ia salah satu staf yang cerdas di kantor desa. Sudah banyak masalah yang om Gaspar selesaikan dengan baik. Banyak warga desa yang mengaku om Gaspar memiliki cara tersendiri untuk menyikapi berbagai kasus di desa. Ada yang menganggap om Gaspar punya kharismatik.

                Mereka dipertemukan di salah satu kedai kopi yang terletak di persimpangan kota tempat om Gaspar kuliah. Waktu itu hari sudah malam. Matahari sudah tenggelam. Sudah menjadi kebiasaan om Gaspar menyelesaikan tugas kuliah di kedai kopi. Bahkan ia sudah menjadi salah satu pelanggan khusus karena hampir setiap minggu datang ke kedai itu. Tidak peduli itu siang atau malam. Bagi om Gaspar itu semua cara untuk berjuang, asalkan tugas dari kampus bisa tuntas. Om Gaspar mengunjungi kedai kopi dua kali dalam sepekan itupun kalau waktu tidak padat dengan urusan kampus. Om Gaspar memilih kerja tugas di kedai karena baginya kedai tersebut suasananya tenang dan sunyi. Sangat cocok untuk berdiskusi dengan diri sendiri dan mengerjakan tugas-tugas kuliah mulai dari semester pertama hingga semester akhir. Dan yang tak kalah penting adalah harga menunya bersahabat. Sesuai dengan isi saku om Gaspar sebagai mahasiswa yang datang dari desa dan tidak memiliki penghasilan khusus. Kedua orang tua om Gaspar selalu mengirim uang saku. Dalam sebulan om Gaspar menerima uang sebesar satu juta rupiah.

                Bedi, satu-satunya anak om Gusti, tetangga om Gaspar terkejut melihat tanta Marta berlari dengan air mata di kedua pipinya jatuh terbuang-buang. Matanya seperti menjadi mata air. Rambutnya yang panjang berhasil menutupi raut wajah yang merah terang dan panik. Bedi tidak sempat mecegatnya. Dan memang tidak akan berhasil. Tanta Marta berlari begitu kencang dan postur tubuh sekecil Bedi tidak mungkin bisa mencegat tanta Marta. Ia hanya mampu melihat dan melihat tanpa menyampaikan salam atau sesuatu lainya. Seolah-olah seperti di sinetron indosiar yang menjelma ke dunia nyata. Waktu itu sore hari, tepat pukul 16:00. Desa telah diselimuti kabut yang tebal. Bedi tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan tanta Marta. Perjumpaan sepintas dengan tanta Marta sore itu seperti sebuah pelarian dan menyimpan seribu tanya bagi Bedi.

                Peristiwa itu selalu melintas dalam benak Bedi. Memang anak seusia Bedi belum pernah menjumpai peristiwa seperti itu. Apalagi untuk memahaminya sangat tidak dimungkinkan bagi Bedi. Pada jam makan malam, dengan semua kepolosan Bedi  menceritakan kejadian itu sesuai dengan apa yang telah ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. “Pa, tadi sore saya melihat tanta Marta berlari ke arah rumah oma Gina (mama tua om Gaspar). Tanta Marta berlari sambil menangis dan tangan kananya membawa sebuah tas kulit berwarna hitam pudar” Bedi bersaksi di meja makan. Kedua orang tua Bedi tidak sedikitpun percaya dengan apa yang telah Bedi saksikan. Mereka tidak percaya sedikitpun. Apalagi keluarga kecil om Gaspar sudah menjadi keluarga yang teladan di desa. Sangat tidak mungkin hal itu terjadi di keluarga kecil mereka. Memang Bedi anaknya boleh dibilang nakal. Kedua orangtuanya sering menjadi korban karena Bedi selalu membawa berita yang tidak benar. Beberapa hari yang lalu ia berhasil membohongi mamanya. Ia mengaku pada saat ulangan matematika ia berhasil mendapat nilai delapan puluh. Padahal kata Rio, teman kelas sekaligus tetangga Bedi,  Bedi harus remidial agar nilainya mencapai nilai rata-rata. Peristiwa ini memang bukan yang kali pertama. Sudah berulang-ulang kali terjadi. Itu yang membuat bapa dan mama Bedi kurang percaya dengan apa yang Bedi sampaikan. Tidak peduli itu peristiwa sepele atau penting samasekali.

                Selama ini tanta Marta sering mengunjungi puskesmas yang terletak di samping kantor camat. Ketika om Gaspar sudah pergi ke kantor desa tempat om Gaspar mengais rejeki, beberapa jam kemudian sebelum matahari terlalu siang tanta Marta pergi mengunjungi puskesmas. Tanta Marta pergi dengan menggunakan kendaraan roda dua. Ia pergi seorang diri dan om Gaspar tidak pernah mengetahui samasekali. Semacam ada rahasia yang ditutupi oleh tanta Marta di hadapan om Gaspar. Setiapkali pulang dari puskesmas tanta Marta selalu mendapatkan obat yang sama. Obat itu dibungkus dalam toples putih berukuran sedang, isinya ada yang berbentuk seperti kapsul. Om Gaspar sempat memikirkan tentang obat keramat itu “Obat apa yang sering kau minum itu Marta?.” “Itu hanya obat untuk tambah darah, soalnya selama ini saya susah tidur malam dan ‘tamu’ datang secara tiba-tiba. Tidak beraturan seperti wanita pada umumnya” tanta Marta menyakinkan kekasihnya om Gaspar dengan perasaan gugup “Maklum, begini sudah nasib perempuan” tambah tanta Marta.

                Om Gaspar yang sudah terlanjur percaya dengan kekasihnya, tidak mau pikir panjang lagi. Om Gaspar berharap agar istrinya lekas pulih. Ia tidak sanggup melihat kekasihnya menjerit sakit apalagi berpisah dari dirinya. Memang sudah dari dulu om Gaspar cinta mati dengan tanta Marta. Hati om Gaspar tidak bisa merangkak ke lain hati lagi selain hati tanta Marta. Hati om Gaspar hanya tertuju pada tanta Marta. Om Gaspar bersumpah tidak akan menyakiti apalagi pergi meninggalakan tanta Marta. Selamanya, mereka selalu bersama.

                Bertahun-tahun sudah dilewati. Badan tanta Marta semakin kurus. Raut muka yang mempesona kini berubah menjadi pucat. Urat-urat darah kentara sekali dikedua tangan tanta Marta. Badan tiba-tiba lemah. Kepala sering pusing. Tubuh mendadak demam dan hidung sering bersin-bersin tidak jelas. Sudah ribuan kapsul yang dimasukan ke dalam tubuh. Tidak satupun yang berhasil mencegah wabah yang sedang melanda. Akhir-akhir ini tanta Marta lebih memilih diam dan punya banyak waktu untuk beristirahat. Lebih diam dari hari-hari sebelumnya. Kedua tanganya tidak kuat lagi menggendarai kendaraan roda dua kesayanganya. Dan tidak bisa lagi pergi ke puskesmas seperti sebelumnya.

                Selama ini tanta Marta menyembunyikan rahasia besar dengan kekasihnya om Gaspar. Ia tidak mau om Gaspar meninggalkan dirinya. Namun apalah daya. Kenyataan memang tidak bisa kita ubah lagi. Kita hanya bisa menerima, menerima, dan menerima. Sore itu tanta Marta kabur dari rumah. Di rumah om Gaspar sudah membaca semua surat kesehatan yang diberikan oleh dokter dan semua obat tanta Marta yang berada di dalam laci meja sudah dibakar oleh om Gaspar. Ternyata selama ini tanta Marta kena wabah AIDS dan dia termasuk perempuan yang tidak beruntung. Dia mandul. Wajar, jika mereka tidak punya buah hati walaupun sudah bertahun-tahun menikah. Malam itu, ketika mereka bertemu di kedai kopi ternyata tanta Marta baru saja pulang dari hotel. Ini sudah berulang-ulangkali tanta Marta lakukan selama ia tinggal di kota. Sudah banyak laki-laki menikmati tubuh tanta Marta. Tidak peduli sudah punya istri atau tidak. Tidak peduli dia lebih tua atau lebih muda. Intinya bagi tanta Marta bisa mendapatkan uang, uang, dan uang. Tanta Marta adalah salah satu gadis desa yang salah langkah. Ia rusak di kota. “Memang benar apa yang Bedi katakan kemarin malam” cetus om Gusti, ayah Bedi.

          


     

Penulis : Risky Agato


Posting Komentar

0 Komentar