“Itu kali terakhir om Gaspar melihat kekasihnya tanta Marta.
Seakan-akan penantian bertahun-tahun lamanya selesai begitu saja. Begitu juga
rindu. Seolah-olah sudah dibayar tuntas, tak seperserpun yang tersisa. Sudah
belasan tahun dilewati bersama akhirnya om Gaspar memutuskan untuk berpisah
dengan tanta Marta. Memang menjadi suatu kebenaran bahwa manusia hanya punya
air mata untuk menerima kepergian. ”
Berita kepergian
tanta Marta menyebar begitu cepat ke seluruh penjuru desa. Hampir di setiap
sudut-sudut rumah warga keluarga om Gaspar selalu dibicarakan. Semua orang tahu
persis hiruk pikuk keluarga om Gaspar. Keluarga om Gaspar dicap sebagai
keluarga yang damai. Pantas menjadi teladan bagi keluarga-keluarga yang lain.
Banyak orang di desa mengaitkan-ngaitkan keluarga kecil om Gaspar dengan
keluarga yang lain. Seperti keluarga om Stanis. Istrinya tanta Reni, sering
menangis. Beberapa hari yang lalu, om Stanis ketahuan selingkuh oleh istrinya
dengan salah seorang janda yang memiliki satu anak di desa sebelah. Meskipun
sudah empat tahun menikah, om Gaspar dan tanta Marta belum juga dikaruniakan
seorang anak. Walaupun begitu, pasangan ini tidak pernah punya niat untuk
berpisah. Semua masalah diselesaikan dengan saksama di meja makan kadang-kadang
di dalam kamar tidur. Tidak ada satupun tetangga di desa yang pernah mendengar
om Gaspar bertengkar dengan istrinya. Meskipun ada satu dan dua kata yang
sering membuat suasana semakin panas tetapi tidak pernah tangan mendarat di
badan. Keduanya sudah dikawinkan secara sah seturut ajaran gereja Katolik dan
memang keduanya sama-sama terlahir dari rahim Katolik.
Tanta Marta
dikenal dengan gadis yang menawan. Wanita yang soleh dan lebih banyak menghemat
kata. Parasnya cantik. Dia gadis desa yang merupakan tetangga kampung om
Gaspar. Saat ini tanta Marta tidak memiliki pekerjaan khusus. Dia hanya sebagai
ibu rumah tangga tanpa punya anak. Latar belakang pendidikanya hanya sampai
pada titik SMA. Dan ia tamatan dari satu-satunya SMA Negri di desa. Tanta Marta
tidak melanjutkan pendidikanya karena ekonomi keluarganya kandas. Ekonomi
macet, macet sekali. Berbeda dengan om Gaspar. Om Gaspar sangat dihormati oleh
orang-orang di desa. Dua tahun yang lalu om Gaspar baru saja mendapatkan gelar
sarjana hukum di salah satu universitas di kota. Jadi selama menempuh
pendidikanya om Gaspar harus merantau. Tinggal empat tahun di tanah orang,
beberapakali pergi pulang ke rumah dan mengarungi lautan. Meski mendapat gelar
sarjana hukum, untuk sementara om Gaspar bekerja di kantor desa. Ia salah satu
staf yang cerdas di kantor desa. Sudah banyak masalah yang om Gaspar selesaikan
dengan baik. Banyak warga desa yang mengaku om Gaspar memiliki cara tersendiri
untuk menyikapi berbagai kasus di desa. Ada yang menganggap om Gaspar punya
kharismatik.
Mereka
dipertemukan di salah satu kedai kopi yang terletak di persimpangan kota tempat
om Gaspar kuliah. Waktu itu hari sudah malam. Matahari sudah tenggelam. Sudah
menjadi kebiasaan om Gaspar menyelesaikan tugas kuliah di kedai kopi. Bahkan ia sudah
menjadi salah satu pelanggan khusus karena hampir setiap minggu datang ke kedai
itu. Tidak peduli itu siang atau malam. Bagi om Gaspar itu semua cara untuk berjuang,
asalkan tugas dari kampus bisa tuntas. Om Gaspar mengunjungi kedai kopi dua
kali dalam sepekan itupun kalau waktu tidak padat dengan urusan kampus. Om Gaspar
memilih kerja tugas di kedai karena baginya kedai tersebut suasananya tenang
dan sunyi. Sangat cocok untuk berdiskusi dengan diri sendiri dan mengerjakan
tugas-tugas kuliah mulai dari semester pertama hingga semester akhir. Dan yang
tak kalah penting adalah harga menunya bersahabat. Sesuai dengan isi saku om
Gaspar sebagai mahasiswa yang datang dari desa dan tidak memiliki penghasilan
khusus. Kedua orang tua om Gaspar selalu mengirim uang saku. Dalam sebulan om
Gaspar menerima uang sebesar satu juta rupiah.
Bedi, satu-satunya
anak om Gusti, tetangga om Gaspar terkejut melihat tanta Marta berlari dengan
air mata di kedua pipinya jatuh terbuang-buang. Matanya seperti menjadi mata
air. Rambutnya yang panjang berhasil menutupi raut wajah yang merah terang dan
panik. Bedi tidak sempat mecegatnya. Dan memang tidak akan berhasil. Tanta
Marta berlari begitu kencang dan postur tubuh sekecil Bedi tidak mungkin bisa
mencegat tanta Marta. Ia hanya mampu melihat dan melihat tanpa menyampaikan
salam atau sesuatu lainya. Seolah-olah seperti di sinetron indosiar yang
menjelma ke dunia nyata. Waktu itu sore hari, tepat pukul 16:00. Desa telah
diselimuti kabut yang tebal. Bedi tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan
tanta Marta. Perjumpaan sepintas dengan tanta Marta sore itu seperti sebuah
pelarian dan menyimpan seribu tanya bagi Bedi.
Peristiwa itu
selalu melintas dalam benak Bedi. Memang anak seusia Bedi belum pernah
menjumpai peristiwa seperti itu. Apalagi untuk memahaminya sangat tidak
dimungkinkan bagi Bedi. Pada jam makan malam, dengan semua kepolosan Bedi menceritakan kejadian itu sesuai dengan apa
yang telah ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. “Pa, tadi sore saya
melihat tanta Marta berlari ke arah rumah oma Gina (mama tua om Gaspar). Tanta
Marta berlari sambil menangis dan tangan kananya membawa sebuah tas kulit
berwarna hitam pudar” Bedi bersaksi di meja makan. Kedua orang tua Bedi tidak
sedikitpun percaya dengan apa yang telah Bedi saksikan. Mereka tidak percaya
sedikitpun. Apalagi keluarga kecil om Gaspar sudah menjadi keluarga yang
teladan di desa. Sangat tidak mungkin hal itu terjadi di keluarga kecil mereka.
Memang Bedi anaknya boleh dibilang nakal. Kedua orangtuanya sering menjadi
korban karena Bedi selalu membawa berita yang tidak benar. Beberapa hari yang
lalu ia berhasil membohongi mamanya. Ia mengaku pada saat ulangan matematika ia
berhasil mendapat nilai delapan puluh. Padahal kata Rio, teman kelas sekaligus
tetangga Bedi, Bedi harus remidial agar
nilainya mencapai nilai rata-rata. Peristiwa ini memang bukan yang kali
pertama. Sudah berulang-ulang kali terjadi. Itu yang membuat bapa dan mama Bedi
kurang percaya dengan apa yang Bedi sampaikan. Tidak peduli itu peristiwa
sepele atau penting samasekali.
Selama ini tanta
Marta sering mengunjungi puskesmas yang terletak di samping kantor camat.
Ketika om Gaspar sudah pergi ke kantor desa tempat om Gaspar mengais rejeki,
beberapa jam kemudian sebelum matahari terlalu siang tanta Marta pergi
mengunjungi puskesmas. Tanta Marta pergi dengan menggunakan kendaraan roda dua.
Ia pergi seorang diri dan om Gaspar tidak pernah mengetahui samasekali. Semacam
ada rahasia yang ditutupi oleh tanta Marta di hadapan om Gaspar. Setiapkali
pulang dari puskesmas tanta Marta selalu mendapatkan obat yang sama. Obat itu
dibungkus dalam toples putih berukuran sedang, isinya ada yang berbentuk
seperti kapsul. Om Gaspar sempat memikirkan tentang obat keramat itu “Obat apa
yang sering kau minum itu Marta?.” “Itu hanya obat untuk tambah darah, soalnya
selama ini saya susah tidur malam dan ‘tamu’ datang secara tiba-tiba. Tidak
beraturan seperti wanita pada umumnya” tanta Marta menyakinkan kekasihnya om
Gaspar dengan perasaan gugup “Maklum, begini sudah nasib perempuan” tambah
tanta Marta.
Om Gaspar yang
sudah terlanjur percaya dengan kekasihnya, tidak mau pikir panjang lagi. Om
Gaspar berharap agar istrinya lekas pulih. Ia tidak sanggup melihat kekasihnya
menjerit sakit apalagi berpisah dari dirinya. Memang sudah dari dulu om Gaspar
cinta mati dengan tanta Marta. Hati om Gaspar tidak bisa merangkak ke lain hati
lagi selain hati tanta Marta. Hati om Gaspar hanya tertuju pada tanta Marta. Om
Gaspar bersumpah tidak akan menyakiti apalagi pergi meninggalakan tanta Marta.
Selamanya, mereka selalu bersama.
Bertahun-tahun
sudah dilewati. Badan tanta Marta semakin kurus. Raut muka yang mempesona kini
berubah menjadi pucat. Urat-urat darah kentara sekali dikedua tangan tanta
Marta. Badan tiba-tiba lemah. Kepala sering pusing. Tubuh mendadak demam dan
hidung sering bersin-bersin tidak jelas. Sudah ribuan kapsul yang dimasukan ke
dalam tubuh. Tidak satupun yang berhasil mencegah wabah yang sedang melanda.
Akhir-akhir ini tanta Marta lebih memilih diam dan punya banyak waktu untuk
beristirahat. Lebih diam dari hari-hari sebelumnya. Kedua tanganya tidak kuat
lagi menggendarai kendaraan roda dua kesayanganya. Dan tidak bisa lagi pergi ke
puskesmas seperti sebelumnya.
Selama ini tanta
Marta menyembunyikan rahasia besar dengan kekasihnya om Gaspar. Ia tidak mau om
Gaspar meninggalkan dirinya. Namun apalah daya. Kenyataan memang tidak bisa
kita ubah lagi. Kita hanya bisa menerima, menerima, dan menerima. Sore itu
tanta Marta kabur dari rumah. Di rumah om Gaspar sudah membaca semua surat
kesehatan yang diberikan oleh dokter dan semua obat tanta Marta yang berada di
dalam laci meja sudah dibakar oleh om Gaspar. Ternyata selama ini tanta Marta
kena wabah AIDS dan dia termasuk perempuan yang tidak beruntung. Dia mandul.
Wajar, jika mereka tidak punya buah hati walaupun sudah bertahun-tahun menikah.
Malam itu, ketika mereka bertemu di kedai kopi ternyata tanta Marta baru saja
pulang dari hotel. Ini sudah berulang-ulangkali tanta Marta lakukan selama ia
tinggal di kota. Sudah banyak laki-laki menikmati tubuh tanta Marta. Tidak
peduli sudah punya istri atau tidak. Tidak peduli dia lebih tua atau lebih
muda. Intinya bagi tanta Marta bisa mendapatkan uang, uang, dan uang. Tanta
Marta adalah salah satu gadis desa yang salah langkah. Ia rusak di kota.
“Memang benar apa yang Bedi katakan kemarin malam” cetus om Gusti, ayah Bedi.
Penulis : Risky Agato
0 Komentar