MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (17)
“Yang jelas, aku memang bertemu ‘sesuatu’.
Mungkin ‘dia’ juga yang melempar Wira keluar dari danau. Entahlah, Gung. Namun,
yang jelas, aku harus menceritakan satu hal kepadamu.” Tutur Kapten Togar.
”Apa tepatnya yang kau maksud
dengan ‘sesuatu’ itu, Kapt?” Tanyaku.
“Saat aku menyelam menuju titik
yang ditunjukkan Wira. Aku sudah merasa yakin bahwa aku bisa mengambilnya. Aku
sudah siap andai bertemu makhluk penunggu danau atau setan air atau apapun itu.
Aku tak pernah takut pada makhluk-makhluk gaib.”
“Lalu, munculkah dia? Maksudku,
si makhluk perempuan yang diceritakan Om Wira itu?” Aku makin penasaran.
“Sebentar jangan buru-buru
bertanya. Kau dengarkan aku dulu,” tukas Kapten.
“Oh maaf, Kapt. Silakan lanjutkan
ceritamu. Aku tak akan menyela lagi.”
“Saat aku mulai menyelam semakin
dalam. Air danau terasa semakin jernih dan terang seolah ada cahaya lampu neon
di dalam, seperti berenang di dalam kolam renang di siang hari. Aneh kan?
Padahal kita berada di tengah hutan di malam hari. Yah, meskipun memang air
danaunya sendiri memang biru berkilau, memantulkan cahaya bulan.“ Kapten Togar
menoleh ke belakang. Ia melihat ke arah danau yang sudah semakin jauh kami
tinggalkan. Aku ikut menoleh. Danau itu terlihat seperti berlian biru yang
berkilau di kejauhan.
“Sementara kau dengar sendiri,
kan, Gung, apa kesaksian Wira setelah dia siuman? Air danau itu semakin dalam
terlihat semakin gelap. Jelas Wira mengalami hal berbeda dengan yang kualami.
Itu keanehan pertama yang kulihat. Keanehan kedua adalah, saat aku sedang
menyelam, tiba-tiba melintaslah di sisiku, seekor hewan berbulu kemerahan. Terlihat
mencolok sekali di dalam air. Tadinya kukira itu ikan. Semacam ikan karper atau
koi merah, tapi kemudian kuperhatikan bahwa itu adalah seekor hewan berbulu,
bahkan berekor panjang. Mirip sekali dengan tikus. Dia menyelam dengan sangat
cepat, melebihi kecepatanku. Aku tahu seharusnya menjaga fokus untuk mencari
mustika itu, tapi seperti ada kekuatan gaib yang menyuruhku untuk mengikuti
tikus merah itu. Mungkin hanya insting atau apa, mengajakku mengikuti hewan
itu. Atau justru hewan itu yang berbicara langsung ke hatiku, aku tak mampu
memastikan. Lalu saat aku tiba di dekat lokasi dimana terdapat batang pohon
melintang, hewan itu langsung menuju ke pangkal batang pohon itu, dia berhenti
berenang lalu berdiam diri saja di sana, tepat di depan sebuah benda yang
memancarkan sinar putih. Aku langsung yakin benda itulah yang dimaksud sebagai
mustika Ratu Bahari. Langsung saja kuambil dan kugenggam dengan tanganku.”
“Jadi, tikus merah itulah yang
memandumu dan menunjukkan lokasi mustikanya, Kapt?” Tanyaku memastikan.
“Bisa dibilang begitu, Gung. Itu
keanehan yang kedua. Dan keanehan terakhir yang akan kuceritakan adalah ....”
Kapten Togar menoleh lagi ke arah Om Wira dan Om Yulian yang terlihat masih berdebat
di belakang kami. Lalu Kapten berbicara lagi dengan suara yang lebih pelan.
“Saat aku bersiap kembali ke
permukaan, dia muncul.”
“Siapa yang kau maksud dengan
‘dia’, Kapt?” Aku ikut memelankan suara.
“Dia, Tania.”
“Eh, maaf, Kapt, Tania itu siapa?
“Tania itu adalah … almarhumah
putriku. Putriku yang meninggal lima tahun lalu.”
Aku terdiam. Seharian ini sudah
banyak pengalaman gaib yang kualami untuk pertama kalinya dalam hidupku. Mulai
dari kemunculan makhluk yang mengaku sebagai penguasa lautan, yang lalu berubah
bentuk dengan mengerikan, lalu anak buahnya yang berjubah hitam dan bermuka
rata, lalu cerita Om Wira saat ia menyelam di danau. Dan kini, aku merinding
mendengar cerita Kapten Togar barusan.
“Dia muncul begitu saja di
hadapanku, tepat saat aku mengambil mustika itu. Lalu ia memanggilku, ‘Ayah,
Tania kangen’. Lalu ....” Kapten Togar menutup wajah dengan tangan kirinya.
Kuduga ia meneteskan air mata.
“Tania mencium tangan kananku.
Seperti yang biasa ia lakukan dulu. Dan saat ia mencium tanganku. Tiba-tiba
saja aku lupa sedang berada di air. Aku memeluknya sambil berkata, ‘Ayah juga
kangen..’. Kalimat itu benar-benar terucap di mulutku. Bahkan terdengar di
telingaku sendiri dengan jelas. Padahal itu tak mungkin terjadi saat kita
sedang berada di dalam air, kan? Saat itu aku benar-benar lupa kalau sedang
berada di dalam air. Kupeluk Tania. Sampai kemudian ia berkata, ‘Ayah temani
Tania di sini ya, jangan pergi’”
Aku semakin merinding saja
mendengarkan cerita Kapten Togar.
“Saat dia berkata ‘jangan pergi’
itulah yang membuatku tersadar. Seolah ada yang mengetuk kepalaku. Aku
tiba-tiba teringat bahwa aku sedang berada di dalam air. Lalu entah apa yang
terpikir olehku, tiba-tiba saja mulutku bertanya, ‘Tania tadi ngomong apa ke Om
Wira’? Tania menjawab, ‘Tania bilang bahwa orang itu bukan Ayah Tania’.” Kapten
Togar mengusap matanya. Kali ini air matanya meleleh tanpa bisa disembunyikan
lagi.
“Lalu aku tak tahu kenapa,
tiba-tiba aku pun membentaknya, ‘KAU PUN BUKAN ANAKKU!’” Kapten Togar mengusap
lagi matanya.
“Tania terkejut dan menangis.
‘Ayah, kenapa ayah marah ke Tania? Ya sudah kalau begitu, Tania mau masuk ke
kamar saja’. Lalu Tania menjauh. Aku mengejar dan berhasil menangkapnya, tapi
ia terus bergerak sehingga aku terbawa olehnya. Saat itulah pinggangku
tiba-tiba terasa tertahan. Rupanya kalian menarikku.”
“Betul Kapt, aku yang menarikmu
berdua dengan Bimbim. Om Wira dan Om Yulian juga kemudian ikut membantu.”
“Nah, saat kalian sedang
menarikku itulah, Tania membalikkan badannya menghadapku lagi. Ia menjerit,
‘Ayah jangan tinggalkan Tania sendirian!” Kapten Togar mengusap matanya lagi.
Kapten Togar yang saat ini sedang
berbagi cerita denganku bukanlah Kapten Togar pemberani yang menantang Ratu
Bahari di kabin kapal tadi. Saat ini ia hanyalah seorang pria yang porak
poranda. Seorang ayah yang hancur hatinya karena harus berpisah dari putri
tercintanya untuk yang kedua kalinya, Berjuang melawan pergolakan kenangan dan
logika.
“Aku berdosa, Gung. Meninggalkan
anakku di dalam danau.” Kapten Togar menatapku dengan matanya yang basah.
“Kapt, kau tentu sudah tahu apa
yang akan kukatakan. Yang kau lihat di dalam air itu bukan anakmu, Kapt. Itu
setan jahat yang menyerupai anakmu untuk menggodamu.” Jawabku.
Kapten menghela napas beberapa
kali sambil memejamkan matanya. Menyebabkan langkahnya tersandung-sandung di
lantai hutan.
“Betul. Kau betul, Gung. Terima
kasih sudah mengingatkan. Terima kasih pula sudah menyelamatkan. Andai tak
kalian tarik tubuhku tadi. Mungkin dialah yang menarik tubuhku semakin dalam
dan aku meninggalkan dunia ini untuk selamanya.”
Kapten merangkulku. “Terima kasih,
sekali lagi, Gung.”
Lega sekali hatiku rasanya
mendengarkan cerita Kapten Togar. Sejujurnya aku memang sudah mengetahui kisah
di balik Legenda Danau Kaco ini. Kisah tentang seorang raja bernama Raja Gagak yang
karena ketamakannya hingga akhirnya mengorbankan putrinya sendiri, Putri Napal
Melintang.
Tentu saja aku yakin Kapten Togar
tidak sepicik Raja Gagak dalam kisah legenda tersebut, tapi di antara semua
penumpang kapal WHITE ANGEL yang kami naiki, memang hanya Kapten Togar yang
paling mendekati kemiripannya dengan tokoh dalam kisah legenda Danau Kaco. Di
antaranya memiliki anak perempuan yang meninggal mendahului ayahnya, juga tato
bergambar burung gagak di tengkuk Kapten Togar, seolah memiliki koherensi
dengan nama Raja Gagak. Hal-hal itu yang membuatku merasa bahwa Kapten Togar
memang orang yang terpilih untuk mengambil mustika itu dari dalam air.
Meskipun demikian, apa yang
dialami Kapten Togar di bawah air tadi tetap sebuah peristiwa yang mengerikan.
Betapa setan memang terbukti sebagai makhluk jahat yang mampu mempermainkan
emosi, bahkan mampu memanipulasi panca indera manusia.
(BERSAMBUNG)
0 Komentar