MENIKMATI KIDUNG PARA PENCARI, KARYA NUGROHO PUTU (2020) || EFFENDI KADARISMAN.



Menikmati Kidung Para Pencari, Karya Nugroho Putu (2020)


Nugroho Putu adalah penyair yang cukup produktif. Ia telah menerbitkan tiga buku antologi puisi tunggal tiga tahun berturut-turut: Kita Dua Kurva Saling Terbuka (2019), Kidung Para Pencari (2020), dan Mungkin Kita Hanya (2021). Tulisan ini adalah ulasan singkat terhadap buku puisi kedua. Judul antologi ini, Kidung Para Pencari, mendorong kita untuk bertanya: Siapakah para pencari? Apakah yang mereka cari? Apa yang didendangkan dalam proses pencarian itu? Jawaban dari ketiga pertanyaan ini kita temukan dalam puisi dengan judul yang sama dengan judul buku (hlm. 25). Mari kita simak dua larik pertama dari bait pembuka, lalu meloncat ke bait ketiga:

kita para pencari

berlari-lari di sepanjang ruas hari

……….

… kita hanya pencari yang pengabdi

seluruh hasil hanya “dibuat berhasil”

ada Dia yang kuasa

kita hanya hamba tanpa daya

Yang langsung tertangkap dari petikan ini: kita, manusia, adalah para pencari, yang menyusuri waktu dan mencoba menemukan “makna” kehidupan. Namun, kita hanya hamba, yang bergerak sepanjang garis takdir Yang Kuasa. Jelas, religiositas mendominasi di sini. Ini puitika yang khas bagi penyair Indonesia. Romantisme Amir Hamzah menghadirkan Tuhan sebagai ‘Elang’: Engkau cemburu / Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu. Chairil Anwar yang bohemian malah lebih tawadlu’: Tuhanku / Aku hilang bentuk remuk // Tuhanku / Aku mengembara di negeri asing // Tuhanku / Di pintu-Mu aku mengetuk / Aku tidak bisa berpaling //.

 Pada Nugroho Putu, religiositas yang agak samar nampak pada puisi pertama, yang berjudul “Pencarian”:

hidup adalah pencarian tak henti

terjaga, lalu beranjak ke gunung-gunung batu

……….

orang-orang lalu lalang

tawar-menawar dan jajakan nurani

hampir-hampir semua hati mati

sekaratnya keyakinan

 

bukankah kita para pejalan malam yang sibuk

mengembara, mencari-cari arti untuk mengisi

kekosongan hati?

Puisi ini mengisyaratkan kematian hati nurani manusia. Kosong, hampa, karena iman yang sekarat. Didera oleh kehampaan hidup itu, manusia mencoba mencari “makna” untuk mengisi “kekosongan hati”.

   Judul puisi ini sekaligus merupakan judul bagian pertama dari empat bagian antologi ini: Pencarian, Cinta, Rindu, dan Syukur. Religiositas puitika Nugroho Putu nampak eksplisit pada sajak “Pertarungan Kata”, yang berakhir dengan: klik // semua menjadi mudah / sakinah jiwa, mutmainah hati, basirah pikiran / paripurnalah kontemplasi dan meditasi ini //. Perhatikan penggunaan kata-kata yang dipetik dari khasanah tasawuf atau kebatinan Islam: sakinah (kedamaian), mutmainah (tenang), dan basirah (penglihatan batin).

    Dalam al-Qur’an, perjalanan jiwa (nafsun) menuju kesempurnaan melewati tiga tahap: nafs ammaarah (jiwa rendah, yang mengikuti dorongan nafsu), nafs lawwaamah (jiwa lebih tinggi, yang mencela kesesatan diri sendiri), dan nafs mutmainnah (jiwa yang hening, yang telah sempurna menempuh perjalanan hidup). Terhadap jiwa yang sempurna ini, di pintu ajal Tuhan memanggil: Wahai jiwa yang telah hening, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku; masuklah ke dalam surga-Ku (al-Qur’an 89: 26-29). Dalam sajak di atas, baris yang berisi kata mutmainah (hening) disusul oleh baris penutup: paripurnalah kontemplasi dan meditasi ini. Implikasinya, puncak pencapaian perjalanan batin adalah tercapainya keheningan jiwa, kesucian hati, dan kesempurnaan budi pekerti.

  Agak menarik ketika saya mengamati ‘jalan mundur’. Di bawah tema “Pencarian”, religiositas amat menonjol. Tetapi di bawah tema “Cinta”, amorous love atau cinta antara pria dan wanita sangat dominan. Artinya, “cinta” di sini bukan merujuk pada mabuk kepayang hamba kepada Sang Kekasih (seperti terungkap jelas dalam madah Rabi’ah Adawiyah atau matsnawi Jalaluddin Rumi), melainkan merujuk pada cinta ala Romeo & Juliet atau Damarwulan & Anjasmara. Pada akhir puisi “Harapan dan Penantian” kita baca: masa tak lagi relevan / waktu seolah tak lagi punya pintu // lelaki itu sibuk menata harapan / perempuan itu berlama-lama dalam penantian //. Puisi “Cintia” menampilkan rasa perih, cinta sayup-sayup yang rapat tersembunyi di relung hati tokoh wayang Sinta dan Laksmana. Sajak “Tanda Baca di Musim Penghujan” diakhiri dengan pertanyaan: mungkinkah kau titik di kalimat panjang petualanganku?  

  Bagaimana dengan tema “Rindu”? Tema ini senada-seirama dengan “Cinta”. Rindu mendendangkan hasrat kuat untuk bertemu: kau seolah menggapai-gapai udara kosong untuk bisa meraih kekasih hatimu. Di bawah “Tragedi Rindu” tertulis: embun sepi, di ujung daun ia menangis / sejuk yang tersimpan / kesedihan yang teriris-iris / terhidang pada nampan kesunyian //. Begitu pula “Salju, Payung dan Kamu” berakhir dengan rasa mendamba terhadap kepulangan sang kekasih: salju, payung dan kamu / adalah isyarat bahwa aku berharap temu / berharap dingin tak akan hentikan waktu / agar kau pulang dan percakapan lama itu bisa kita ulang //.

    Tema “Syukur” di ujung antologi ini kembali bertaut dengan tema pertama—dalam hal religiositas. Hati yang berterima kasih kepada Sang Pencipta adalah pengakuan: anugerah-Mu begitu berlimpah-ruah. Tak sanggup aku menghitungnya. Tak kuasa aku mengingatnya. O Tuhan, Engkau adalah samudra cinta tanpa batas, lautan kasih tak bertepi. Bait terakhir dari puisi “Tentang Waktu” menuntun pembaca menuju kesadaran: waktu pun mengunyah kita / belia pun menua / jejak langkah terhapus angin / kenangan menggigil dingin //. Ternyata hidup ini begitu fana. Pada awalnya, dalam proses “pencarian” manusia mencoba menemukan “arti” untuk mengusir rasa hampa dalam dirinya. Pada ujungnya, ia ingin merapat dan menepi. Pada sajak “Gagal Mengeluh”, pembaca kembali disadarkan: dalam badai kalut tubuh butuh berlabuh / sejenak duduk bersimpuh rapalkan nama-nama indah-Nya / sabar jadi pilar, syukur jadi suluh / pastikan hari ini gagal untuk mengeluh //.

   Sebagai penutup, dapat diajukan pertanyaan: secara esensial apa yang telah ditawarkan oleh antologi Kidung Para Pencari ini? Resensi ini secara ringkas telah mengulas kandungan buku puisi ini: cinta dan rindu adalah fitrah insani. Bersamaan dengan itu, manusia mencoba memaknai hidupnya lewat sandaran terdalam: pasrah dan bersyukur kepada Sang Maha Ada. Tinjauan dengan kacamata puitika tidak menemukan hal baru yang menyentak atau mengagetkan. Gaya bahasa mengalir lancar dan wajar. Tidak terlihat akrobat atau eksperimen baru dalam berpuisi. Tentu, yang terakhir: antologi ini lahir dan hadir berkat ketekunan penyairnya untuk terus berkarya. Menghasilkan sebuah antologi butuh stamina dan konsistensi dalam berkarya. Maka, walau terlambat, saya ucapkan SELAMAT kepada Pak Nugroho Putu atas terbitnya buku puisi ini.

 

_______________________

Effendi Kadarisman adalah guru besar linguistik dan pakar etnopuitika di Universitas Islam Malang (UNISMA). Di bidang puitika, ia telah menerbitkan empat antologi puisi tunggal. Puisi-puisinya telah terbit di berbagai antologi puisi bersama dan sejumlah surat kabar nasional. Ia juga menulis esai sastra,berupa kata pengantar dan epilog untuk buku-buku antalogi puisi.

Posting Komentar

1 Komentar

nugroho putu mengatakan…
Terima kasih pak prof. Effendi Kadarisman telah mereview buku puisi ini, semoga menginspirasi bahwa puisi adalah salah satu nutrisi literasi.