MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (8)
“Dengarkan, kalian semua. Aku belum pernah
berada dalam situasi seperti ini sebelumnya, tapi aku cukup yakin saat ini kita
dalam bahaya. Jangan tanya kenapa aku bisa demikian yakin, karena naluri
seorang pelaut sejati jarang salah,” ucap Kapten Togar lirih.
Tak ada yang seorang pun yang bersuara
menanggapi Kapten Togar.
“Aku yakin ini semua ada hubungannya
dengan gurita raksasa tadi, Kapt,” ucap Bimbim.
“Aku pun meyakini demikian.” Kapten
Togar melirik ke arahku.
Aku mengalihkan pandangan dari Kapten.
Rasanya tak nyaman jika kita berada dalam situasi berbahaya dan mengetahui
bahwa kita sendiri lah yang dianggap sebagai penyebab situasi berbahaya tersebut.
“Setidaknya kita bisa meminta bantuan
lewat radio kapal, kan?” Tanya Om Wira.
“Barusan aku sudah memeriksanya. Radio
kapal, mesin kapal, bahkan kompasku di anjungan, semua peralatan navigasi tak
berfungsi,” ungkap Kapten dengan nada cemas.
“Lalu apa yang harus kita lakukan
sekarang, Kapt?” Tanya Bimbim.
“Sebaiknya kita… “ Kapten Togar gagal
menyelesaikan kalimatnya. Penyebabnya karena lampu kabin tiba-tiba mati seluruhnya.
Terdengar suara Carla menjerit tertahan. Situasi dalam kabin kini jadi gelap
gulita dan semakin mencekam.
“Jangan ada yang
bergerak, aku akan mencari senter,” terdengar suara kapten Togar.
Selang beberapa
detik, penerangan kembali menyala normal. Situasi kabin sepertinya tak berubah. Tapi ada
sesuatu. Sesuatu yang tadinya tak ada di dalam kabin, namun kini muncul di
hadapan kami.
“Ayaaah!” Carla
berbalik mendekap ayahnya sambil menjerit.
“Ya Tuhan.”
Bimbim menutupi mata dengan kedua tangannya.
Aku pernah
beberapa kali merasakan mati lampu di kamar kost pada malam hari. Pandangan
gelap dan hati seolah ikut menyempit. Lalu, setelah berjam-jam dalam kegelapan,
sama seperti kepergiannya yang mendadak, listrik tiba-tiba datang mengembalikan
nyawa penerangan. Sensasi yang kurasakan saat lampu kembali menyala itu
biasanya terasa sangat melegakan.
Sayangnya kali
ini sensasi melegakan itu tak terasa sama sekali. Karena begitu lampu
penerangan di atas kabin kembali menyala, hal pertama yang terlihat oleh mata
kami adalah; sesosok makhluk sedang berdiri tepat di tengah-tengah ruangan
kabin. Bagian kepala makhluk itu memang berwujud kepala manusia, tepatnya
kepala wanita berambut merah dengan wajah yang sangat cantik dengan kedua
matanya terpejam. Sedangkan sekujur tubuhnya terbalut jubah putih yang
bersinar. Jubah itu menutup rapat dari leher hingga bagian terbawah tubuhnya
dan agak menggelembung di bagian tengah sehingga perutnya terlihat bulat serta
berukuran besar tak proporsional. Tak terlihat pergelangan tangan maupun
kakinya karena rapatnya jubah itu. Jika diperhatikan dengan seksama, jubah
putih itu seperti bertabur manik-manik kecil yang berkilauan. Bagiku makhluk
itu mirip manusia yang berselimutkan semacam gorden. Masalahnya aku tak melihat
tubuhnya menyentuh lantai kabin. Ia mengambang di udara sekitar satu meter di
atas lantai. Jadi ya, pastinya makhluk itu memang bukan manusia.
Terlintas di
pikiranku, dan mungkin juga di pikiran penumpang lain; makhluk yang berdiri
mengapung di hadapan kami ini adalah semacam hantu atau roh jahat. Carla sudah
membalikkan tubuh sepenuhnya memeluk Om Wira sambil terisak ketakutan. Bimbim
ternganga dan tubuhnya gemetar. Aku sendiri seumur hidup belum pernah melihat
setan ataupun spesies makhluk halus lainnya. Dan pengalaman pertamaku ini
menurutku cukup menarik. Selain karena wajah makhluk itu sangat cantik melebihi
Carla, aroma seisi kabin juga mewangi. Berani bertaruh aroma wangi ini datang dari
tubuh makhluk itu. Hanya Kapten Togar yang kulihat tetap tenang. Sementara Om
Yulian … hmm, ia masih beristirahat dengan sangat damai di sofa kabin sambil
mendengkur.
“Selamat siang. Aku Togar, kapten di kapal
ini. Mohon Tuan Putri sudi
kiranya memperkenalkan diri dan janganlah mengganggu kami,” Kapten Togar
bersuara dengan lantang. Aku
mengagumi keberaniannya.
Makhluk itu bergeming. Ia mengambang
tak bergerak di hadapan kami.
Kulihat Kapten
Togar tetap bernapas dengan normal. Namun
tubuhnya tidak mengeluarkan gerakan yang berarti. Ia terlihat sangat tenang.
“Selamat Siang ... Aku Togar ....”
Kapten Togar mengulangi kalimatnya namun terputus. Penyebabnya adalah terdengar
sayup-sayup suara tawa wanita di sekeliling kabin.
“Hm-hm-hm .…” Tawa berdeham lembut
yang misterius. Tawa itu terdengar lembut seperti ayunan ombak di Dermaga Marina pagi tadi.
Tapi lambat laun suaranya meninggi. Lalu semakin melengking. Carla memeluk ayahnya semakin erat.
Aku merasakan
keanehan. Ekspresi dingin wajah makhluk mirip wanita itu tak berubah, tetap
datar dan matanya masih terpejam seperti orang yang sedang tidur. Meski
terdengar suara tawa membahana namun wajah makhluk itu tetap datar. Tak ada
guncangan lembut seperti yang biasa terlihat pada tubuh orang yang sedang
tertawa.
“Berbicara satu
kali … kesalahan tiga kali,” tiba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita
bergema di ruangan kabin. Makhluk itu kah yang mengucapkannya? Tapi aku tak
melihat ada gerakan di mulutnya yang terkatup rapat.
“Kesalahan
pertama, aku bukan tuan putri, aku ini RATU!” Terdengar geraman menyeramkan
saat kata ‘ratu’ diucapkan.
“Kesalahan kedua,
kau TIDAK meminta kesudian kepada seorang ratu untuk memperkenalkan dirinya.
Ratu bebas melakukan apa pun, dan kapan pun sesuai kehendaknya sendiri.”
Aku menatap Kapten Togar. Ia benar-benar terlihat seperti burung elang yang melayang santai, perkasa mengangkasa. Tak terlihat ada ketakutan di kedua matanya. Sebaliknya, justru ia terlihat sangat tenang.
“Kesalahan ketiga; apa katamu tadi? ‘Jangan-mengganggu-kami’?!”
“Siapakah yang
mengganggu, Kapten? Tuan rumah yang bicara baik-baik kepada tamunya, ataukah ...
tamu tak diundang yang datang untuk mengganggu dan mengganyang anak-anak tuan
rumah? Kalian memasuki wilayahku dan menangkapi anak-anakku dengan tali yang
diberi kail ujungnya.”
Aku yakin Kapten
Togar memahami kalimat itu melebihi pemahamanku. Karena gestur dan ekspresi
wajahnya kini terlihat bersiap menjawab.
“Aku sebagai
Kapten sepenuhnya akan bertanggung jawab untuk kesalahanku maupun kesalahan
teman-temanku ini. Hukumlah aku dan tolong biarkan mereka pergi dengan
selamat.” Kapten Togar menjawab dengan
lantang dan tetap tenang dalam bersikap. Aku semakin mengaguminya.
“Berbicara untuk
yang kedua kali, kesalahan semakin berkali-kali,” kembali suara wanita tadi
terdengar lembut, meski dengan nada yang sinis.
“Kau tak bisa bertanggung jawab untuk
orang lain. Tanggung jawab adalah kewajiban setiap makhluk atas dirinya
masing-masing.”
“Dan aku kesini, bukan untuk menghukum,
tapi untuk menuntut bantuan.”
Kalimat terakhir itu di luar dugaanku.
Menuntut bantuan? Bukankah dia sendiri tadi berkata bahwa dia seorang ratu? Hal
apakah gerangan yang demikian sulit didapatkan seorang ratu sehingga
membutuhkan bantuan dari manusia-manusia jelata seperti kami ini? Kenapa pula
ia menggunakan kata ‘menuntut’? Lalu kuralat sendiri pikiranku. Dia bukan ‘seorang’
ratu. Dia kan, bukan manusia. Jadi lebih baik disebut ‘sesosok’ ratu.
Suara sang ratu kembali membahana. “Perhiasanku,
mustika-mustikaku, telah hilang dicuri oleh gerombolan pencoleng. Aku sedang
dalam pencarian untuk menemukan benda-benda berharga tersebut melewati lubang
portal dimensi, saat tiba-tiba perjalananku dihadang oleh manusia-manusia bodoh
yang, jika bukan karena belas kasihku, pasti sudah kubunuh mereka semua.”
“Siapa kah manusia-manusia bodoh yang
kau maksud itu, Ratu?” Tanya Kapten Togar.
“Kebetulan salah satunya adalah lawan
bicaraku saat ini,” jawab sang ratu. Jawaban itu merubah air muka Kapten Togar
jadi agak gelisah.
“Kami, eh, aku ...
akan siap membantumu, Paduka Ratu,” ucap Kapten Togar lagi.
“Tunggu dulu
....” Om Wira tiba-tiba menyela.
“Jika benar kau
seorang ratu, maka seharusnya kau lebih dari sekedar mampu untuk menemukan
sendiri harta bendamu itu, bukan? Kenapa kau harus minta bantuan kami,”
Pertanyaan Om Wira masuk akal bagiku. Tapi kulihat Kapten Togar menggelengkan
kepalanya pelan, seolah ia menyesalkan pertanyaan Om Wira tersebut.
“Hmm ... sesama
manusia bodoh, menanyakan hal bodoh,” dengus sang ratu sinis.
“Maaf jika pertanyaanku
menyinggungmu, Paduka Ratu,” Om Wira tertunduk.
“Aku memang tak
seharusnya membutuhkan bantuan manusia macam kau dan teman-temanmu ini. Aku
sedang mengejar buruanku, tapi tiba-tiba kapalmu menghalangi pergerakanku,
bahkan kalian dengan sengaja melukaiku!”
“Melukaimu?”
Suara Bimbim mengejutkanku. Rupanya dia sudah kembali menemukan keberanian
untuk bisa berbicara langsung dengan makhluk di hadapan kami ini.
Sedetik.
Dua detik .…
Tiga detik.
Hening, tak ada jawaban.
Lalu. Hal yang tak nyaman terjadi.
Wajah sang ratu yang sejak awal selalu
datar tanpa ekspresi bagaikan seorang wanita yang sedang tertidur, mulai
terlihat bergerak-gerak. Garis lurus bibirnya perlahan melebar. Hingga kupikir
bibirnya seperti akan tersenyum. Tapi garis mulut itu terus melebar. Melebar
dan semakin … aku tak percaya dengan penglihatanku sendiri, garis mulut sang
ratu melebar hingga terus bergerak ke ujung pipi kanan dan kirinya. Ketika garis
mulut itu menyentuh daerah yang seharusnya ada telinga, tak bisa kulihat
telinganya karena tertutup rambut merah yang lebat, mulutnya mulai terbuka
perlahan dengan suara menjijikkan seperti suara dari terbukanya sesuatu yang
lengket berlendir.
Mulut itu terbuka mengikuti garis yang
tadi melebar. Begitu lebar, hingga kurasa mampu menelan seekor kucing
bulat-bulat. Dia bukan lagi wanita yang berwajah cantik. Di dalam mulutnya yang
ternganga aku bisa melihat ratusan gigi tajam saling bertumpuk, mirip seekor
buaya yang sedang memamerkan giginya. Tapi, berani sumpah … buaya masih jauh
lebih cantik dibandingkan dengan makhluk ini. Om Wira dan Bimbim memalingkan
wajahnya. Aku pun ingin, tapi di sisi lain aku juga penasaran. Pengalaman
pertama kali melihat setan ini harus kunikmati sebaik mungkin.
***
0 Komentar