CERBUNG MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (4) || CYGALLA

 

Ilustrasi dari google.com

MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (4)

 Aku dan Carla duduk bersebelahan di buritan. Rasanya agak canggung juga buatku karena tak terbiasa berdekatan dengan wanita. Aku pernah punya pacar semasa di bangku SMU, tapi hubungan kami tak berlangsung lama. Lagipula, pacarku saat itu agak berbeda sedikit dibanding Carla ini. Maksudku, tentu saja perbandingan raut wajah keduanya berbeda. Jadi wajar saja kalau sekarang aku merasa canggung.

“Gung, sebelum kerja di tempat yang sekarang, kamu sudah pernah kerja dimana saja?” Tanya Carla.

“Eh, aku memang baru lulus kuliah, Mbak. Jadi baru pertama kali ini bekerja,” jawabku.

“Hih, kamu ini. Jangan panggil ‘Mbak’. Panggil saja aku; Carla.”

“Eh, iya maaf, Mbak, eh, Carla.”

“Kamu dulu kuliah ngambil jurusan apa, Gung?”

“Aku jurusan Seni Rupa, Carla.”

“Wah, kamu jago gambar dong berarti.”

“Enggak, kok. Cuma hobi aja coret-coret.”

“Kapan-kapan gambarin aku ya,”

“Boleh, tapi aku takut hasilnya nggak sesuai harapanmu.”

“Sok tahu deh kamu, Gung. Memangnya kamu tahu apa harapanku?”

“Sepertinya aku tahu.”

“Apa coba, harapanku?”

“Emm ... menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa??”

“Haha ... ngaco! Jawaban anak SD, itu mah!”

Kapten Togar menambah kecepatan. Suara mesin speedboat semakin menderu-deru.

Aku dan Carla harus saling berteriak untuk dapat mendengar ucapan masing-masing. Sampai kemudian Carla membuka maskernya.

“Capek aku teriak-teriak, suara teredam masker, suara mesin kapal berisik, huh!!”

Aku langsung terpesona saat Carla mempertunjukkan keseluruhan wajahnya. Wah, aku harus meralat perbandingan antara Carla dengan mantan pacarku tadi. Mereka berdua bukan hanya sedikit berbeda, melainkan terlalu banyak perbedaannya.

“Gung, kalau kamu sedang tidak kerja, misalnya pas akhir pekan, gitu. Biasanya kamu ngapain?”

“Aku justru seringnya dapat jadwal masuk kerja pas akhir pekan.”

“Nggak ada waktu luang kah?”

“Ada sih.“

“Biasanya ngapain tuh pas lagi senggang?”

“Akhir-akhir ini aku lagi suka nulis.”

“Oh, nulis-nulis cerita, gitu?”

“Iya betul.”

“Siapa penulis favoritmu, Gung?”

“Kalau dari luar negeri, aku suka Dan Brown. Penulis dalam negeri, aku lebih suka Dee Lestari.”

“Oh, Dee Lestari. Dia penulis bagus tuh.”

“Betul. Kamu mengenalnya, Carla?”

“Kenal karena memang dia terkenal, bukan karena saling kenal. Hehehe. Kamu sendiri sudah lama kenal beliau?”

“Aku juga belum pernah kenalan dengannya sih.”

“Hahaha. Coba nanti disempatkan berkenalan, Gung.”

“Insyaa Allaah, nanti kucoba berkenalan dengannya, doakan ya,”

 Baca juga

1.Cerbung Merah Kuning Hijau di Laut Yang Biru

2. Puisi Syawal Karya Ariby Zahron

 

“Memang kalau mau berkenalan itu harus didoakan dulu, ya?” Tanya Carla.

“Tentunya, sebagai insan beragama, melakukan hal apapun sebaiknya didahului dengan doa.” Jawabku.

“Supaya apa?”

“Supaya terhindar dari keburukan, dong.”

“Memangnya keburukan apa yang mungkin terjadi saat kamu nanti berkenalan?”

“Banyak, bisa saja saat berkenalan tiba-tiba aku kelepasan kentut, misalnya.”

“Hihihi. Itu mah kamunya kebangetan, Gung.”

“Makanya tolong dong, doakan.”

“Iyaaa! Bawel! Ngomong-ngomong, kamu kenapa sih ingin jadi penulis, Gung?”

“Aku memang suka menulis. Almarhum ayahku pun penulis. Dia jurnalis di sebuah media cetak.”

“Oh, ayahmu sudah almarhum? Maaf ya aku baru tahu. Doa terbaikku untuk beliau.”

“Iya, nggak apa-apa. Terima kasih, ya.”

“Kalau boleh tahu, almarhum ayahmu sakit apa?”

“Ayahku gugur saat sedang meliput kasus pembebasan lahan hutan adat yang akan dijadikan area pembangunan waduk. Saat itu pondok tempat ia menginap tiba-tiba saja sudah terbakar habis dalam semalam. Beberapa warga setempat termasuk kepala adat yang menginap di pondok itu pun ikut jadi korban. Anehnya jasad mereka tidak ditemukan. Seolah pihak-pihak yang melawan rencana pembangunan harus dihilangkan sampai tanpa sisa. Ada yang bilang, pondok itu memang sudah kosong saat dibakar. Isunya, ayahku beserta para tokoh masyarakat yang selama ini melawan pembangunan waduk, diculik dan dibuang ke tengah laut dengan pemberat terikat ke tubuh mereka.”

Tanpa sadar, aku bercerita terlalu banyak. Lengkap pula dengan perasaan emosional  yang terbawa. Betapa perasaan tak menentu saat takdir tiba-tiba merampas orang yang kita cintai dari kehidupan, tanpa memberi kita kesempatan untuk berjumpa lagi dengannya, bahkan untuk sekadar menziarahi makamnya. Entah di mana ayahku, minimal jasadnya, kini berada.

Dengan susah payah kutahan air mata. Bodohnya aku ini, lupa sedang bersama seorang wanita. Mengapa aku harus tampak lemah begini? Nampaknya Carla menyadari hal itu dan berusaha mengalihkan fokus pembicaraan.

“Biasanya penulis memiliki nama pena, kan? Siapa nama penamu?”

“Aku tak punya nama yang aneh-aneh buat jadi nama pena, sih. Nama lengkapku Agung Irawan, tapi dalam karyaku selalu kucantumkan nama ‘Agung bin Yunai’. Yunai adalah nama ayahku dan itu membawa motivasi dan kebanggaan tersendiri untukku.”

“Unik juga. Jarang ada nama pena seperti itu, soalnya. Oh satu lagi pertanyaanku, Gung. Kamu sudah punya pacar?”

Kaget juga mendengar todongan pertanyaan Carla barusan. Maka kujawab saja apa adanya.

“Pernah punya, tapi umurnya tidak panjang ....”

“Oh, maafkan ... aku ikut berduka cita, Gung. Malangnya hidupmu, kehilangan seorang ayah dan kekasih pun meninggal dunia.”

“Eh, pacarku bukan meninggal. Maksudku tadi umur hubungan kami berdua yang tidak panjang,” buru-buru kuluruskan ucapanku. Ah, bahkan ngobrol normal dengan wanita saja terasa sulit buatku.

“Oh, hahaha. Maaf ya aku salah tangkap.” Carla memaksakan diri tertawa dengan canggung.

Untungnya, Carla pintar mencairkan suasana. Dia lantas melanjutkan pembicaraan dengan topik musik dan lagu-lagu favoritnya. Ternyata selain sama-sama penyuka lagu-lagu daerah, kami berdua juga menggemari irama jazz. Obrolan hangat berlanjut tanpa terasa di bawah teriknya matahari pagi dan ayunan speedboat di tengah lautan. Kata-kata yang keluar dari bibir Carla bagaikan lantunan lagu merdu yang biasa kusaksikan di channel youtubenya. Bedanya, kali ini tanpa suara musik latar, hanya harmonisasi dari deru mesin speedboat dan sesekali diiringi melodi dari debur ombak yang bersahutan dengan kicau camar. Hingga sekitar satu jam kemudian, saat si Botak Bimbim mendekati kami berdua.

“Kalian berdua dipersilakan masuk ke kabin. Aku sudah menyajikan gorengan dan teh hangat,” katanya cuek dengan sebatang rokok masih melekat di bibir. Kalimat yang seharusnya terdengar ramah itu malah kurasa membuat telingaku seperti kemasukan semut.

 

“Wah, makasih ya, Bang. Sini dong, gabung ngobrol-ngobrol sama kita,” ajak Carla ramah.

“Silakan ngobrol saja berdua, Neng. Saya bukan jenis orang yang tiba-tiba ikut campur obrolan orang lain. Permisi, saya banyak kerjaan.” Bimbim ngeloyor meninggalkan kami berdua.

Aku tahu maksud kalimat Bimbim memang menyindirku terkait insiden yang melibatkan kami berdua di jalan tadi pagi. Sementara Carla yang tidak tahu menahu tentu saja menatapnya kebingungan.

“Hih, aneh banget sih dia itu. Aku kan cuma mencoba ramah. Eh, menurutmu kalau dia lebih berotot, agak mirip Vin Diesel, nggak, sih?” Ucap Carla.

“Nggak. Lebih mirip tuyul,” jawabku singkat.

“Dih, kamu bisa jahat juga, Gung. Nggak nyangka. Hahaha,” Carla tertawa renyah.

“Masuk, yuk. Setidaknya kita hargai dia dengan menyantap hidangannya,” ajakku yang langsung disetujui Carla.

***

 

Setelah kenyang menyantap aneka gorengan dilengkapi secangkir teh hangat. Kami bercengkerama di dalam kabin. Tak lama sebelum Kapten Togar melambatkan laju kapal hingga akhirnya mematikan mesin.

Lalu Kapten turun bergabung bersama kami di kabin.

“Baiklah, saudara-saudara. Kita telah sampai di titik pemancingan pertama. Di sini lah tempat yang banyak terdapat ikan layur, baronang, kerapu, kakap, dan anggota paguyuban ikan laut lainnya. Tapi jangan mengharap ada Marlin, yah. Hehe.” Kapten Togar terkekeh.

“Mantap, Kapt. Perlengkapan sudah siap?” Tanya Om Wira.

“Tuh, sudah disiapkan oleh Bimbim di luar. Kita tinggal nongkrong saja menunggu umpan digigit. Tapi jangan lupa habis nongkrong, disiram ya. Hahaha!”

“Hih, Kapten ini … Jorok!” Lagi-lagi Carla mengeluarkan jurus cubitan mautnya. Kali ini Kapten (sengaja) terlambat bereaksi sehingga ia pun mengaduh saat cubitan itu mendarat di lipatan lemak di perutnya.

Saat semua orang keluar dari kabin untuk bersiap menikmati acara memancing. Aku meminta izin kepada Kapten Togar untuk naik ke anjungan kemudi sekali lagi. Beliau dengan ramah menawarkan apakah aku mau ditemani. Tadinya aku berniat ingin menyendiri sambil menikmati momen memandang lautan luas dari anjungan kemudi. Tapi mengingat Kapten Togar adalah pribadi yang menarik dan kebapakan, tentu aku lebih dari sekedar bersedia.

“Kopi, Gung?” Kapten Togar menawarkan.

“Terima kasih, Kapt. Aku nggak ngopi.” Tolakku sesopan mungkin.

“Wah, jarang-jarang nih, aku bertemu pemuda yang tidak minum kopi.” Kapten Togar tersenyum.

“Perutku gampang mual kalau minum kopi, Kapt,” jujurku.

“Wah, sayang juga, tapi setidaknya kamu sudah mengetahui ketidakmampuan fisikmu. Tak perlu melawan kenyataan itu, cukup berdamai saja dalam senyuman. Dan ... jangan khawatir, bukan berarti kamu kehilangan identitas sebagai pemuda sejati meski harimu tanpa kopi.” Kata Kapten Togar masih dengan senyum khasnya.

“Keren banget kalimat barusan, Kapt. Cocok jadi quotes.

“Ah, apa itu kuwot-kuwotan? Aku tak paham istilahmu, Gung. Hehehe.”

“Namun, Kapt. Kadang-kadang aku merasa sesekali harus mencoba minum kopi. Supaya bisa merasakan sensasi jadi laki-laki sejati.”

“Kalau memang kenyataannya kamu nggak mampu, ya jangan dipaksakan, Gung. Biasanya, Tuhan memberi ketidakmampuan pada seseorang itu karena ingin memberinya suatu kelebihan lain untuk menutupinya.”

“Maksudnya apa, Kapt?”

“Maksudnya adalah ... aku sendiri tak tahu! Aku cuma asal bicara saja biar terkesan bijak, hahaha!” Kapten tertawa terbahak. Aku juga ikut terbahak.

“Sudahlah, Gung. Silakan nikmati pemandangan di sini sepuasnya. Izinkan aku menikmati kopiku sepuasku. Anggaplah aku tak ada di sini. Tapi kalau mau, silakan kamu boleh bertanya tentang apa saja,” kapten mengangguk ramah padaku.

Aku pun menurut. Kutunaikan niatku untuk menikmati udara dan pemandangan laut dari jendela anjungan kemudi yang tak berkaca. Sayup-sayup terdengar kicau kawanan camar di kejauhan.

Baca Juga

1.BUKU BERTEMU BELALANG DAN SAWAH SEPETAK

2. CERBUNG MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU 2

Cakrawala di titik terjauh pandangan mata memang seolah tak berujung. Namun sepengetahuanku, jika kita berlayar dalam garis lurus, maka setidaknya kita akan menjumpai daratan, mungkin menabraknya, andai kita terus melaju tanpa mengurangi kecepatan. Dan itu seperti sebuah hukum pergerakan benda di alam semesta. Kemanapun ia bergerak pasti akan menjumpai benda lain, sangat mungkin pula bertumbukan dengan benda lain. Baik itu sebuah pergerakan maju atau pun mundur.

Lalu bagaimana kah dengan perjalanan waktu? Seiring berjalannya waktu, di masa depan pasti aku akan bertemu dengan kenyataan atau pun kejadian-kejadian baru. Mungkin bertabrakan, atau berbenturan dengan masalah-masalah baru. Saat hal itu benar-benar terjadi kelak, aku yakin pikiranku akan mengenang kembali momen yang sedang kunikmati saat ini. Saat di mana aku sedang berdiri di dalam sebuah kapal di tengah lautan tenang. Merasa damai tanpa masalah, seolah hidupku akan berlangsung selamanya.

Demikian pula andai aku bisa bergerak mundur melalui jalur waktu. Mampukan aku kembali berdamai dengan semua kenyataan? Seperti ... kenyataan pahit yang merenggut nyawa ayahku? Andai aku ada di lokasi kejadian, mampukah aku menyelamatkannya?

Tak perlu melawan kenyataan, cukup berdamai saja dalam senyuman. Kalimat Kapten Togar terngiang di telingaku.

“Kapt …?” Aku memberanikan diri bertanya.

Kapten Togar menatapku. Tangannya bergerak terlipat di dada. Gestur ini seolah mengkonfirmasi bahwa ia siap mendengarkan tanpa harus menyahut panggilanku barusan.

“Kapt … maafkan kalau saya lancang. Kapten kan, pernah kehilangan anak. Bagaimana caranya berdamai dengan kenyataan jika kita kehilangan orang yang kita sayangi?”

“Kapten tak perlu menjawabnya kalau tak mau ....” Buru-buru kutambahkan.

Kapten tersenyum, yang dengan itu membuatku lega. Aku sempat terpikir pertanyaan tadi terlalu berani.

“Boleh kutebak? Tentang siapa ini … almarhum seorang ayah, kah?” Entah dari mana Kapten Togar mengetahui maksud pertanyaanku. Mungkin ia sempat mendengar percakapanku dengan Om Wira tadi pagi.

“Betul, Kapt. Ayah saya sudah tujuh tahun lalu meninggal. Tapi dalam hati terdalam saya seperti sulit merelakan kepergiannya,” jujurku.

“Gung, hukum pertama dari rasa cinta atau sayang adalah: sekuat apapun cinta, ia tidak memberi kita kuasa. Kuasa untuk memiliki sepenuhnya, kuasa untuk menentukan takdirnya, bahkan kuasa untuk menjamin apapun terkait keberadaannya. Aku yakin kamu sudah tahu tentang ini meski mungkin belum sepenuhnya bisa memahami.”

“Intinya, orangtua, anak, saudara, kekasih … siapapun yang kita cintai di dunia ini, tak akan mampu kita kuasai sepenuhnya. Karena jiwa mereka bukan milik kita. Bahkan, tak ada orang di dunia ini yang bisa memiliki jiwanya sendiri sepenuhnya.” Lanjut Kapten.

Aku membisu. Tak tahu harus menanggapi apa.

“Coba kutanya, Gung. Tujuh tahun kamu merindukan ayahmu. Apakah itu bisa membuat beliau hidup lagi? Maksudku, secara fisik, apakah ia akan mendatangimu dan berkata ‘Aku hidup lagi, Gung. Terima kasih karena telah merindukanku selama ini’?”

“Yang mati akan tetap mati, baik kita mengikhlaskannya atau tidak. Setidaknya sebagai insan beragama, kamu tahu ayahmu berada di tempat dimana ia sekarang tak lagi berada dalam bahaya. Karena dijaga oleh Sang Maha Menjaga. Tugas kita sebagai orang yang ditinggalkan, bukan urusan rela atau tidak rela. Justru kita harus terus mendoakan mereka yang telah pergi. Karena doa dan kenangan indah itulah yang akan selalu menjaga kita untuk tetap berada dalam lingkaran hidup yang damai sepeninggal mereka.”

Kata-kata Kapten Togar menampar telinga sekaligus hatiku. Sebuah tamparan yang menyakitkan dalam kebenaran. Rela atau tidak, sudah kewajiban bagiku untuk terus mendoakan almarhum ayah.

“Gung ....” Lanjut Kapten lagi.

“Izinkan aku mengingatkan, sebagai laki-laki, kita tidak dilarang untuk menangis. Tapi yang dilarang keras bagi seorang laki-laki adalah menjadi lemah karena kehilangan. Waktu putriku meninggal, aku menangis setiap hari, hingga berbulan-bulan. Sampai mataku bengkak. Tapi sesudahnya aku bisa menerima karena aku yakin dia sudah dijaga di tempat yang aman sekarang. Lebih aman daripada penjagaanku semasa hidupnya. Jadi aku tak perlu lagi khawatir. Yakinlah bahwa ayahmu juga sekarang bahagia di sana. Lagipula kita masih punya banyak orang yang menjaga kita di sini.” Kapten menunjuk ke arah buritan kapal. Di sana semua orang terlihat sedang ramai bersenda gurau.

“Yuk, ikut denganku, kita temui para penjaga kita yang masih ada, karena, mereka pun sekarang, butuh untuk kita jaga,” Kapten Togar merangkulku.

Kami turun dari anjungan kemudi. Hatiku terasa lega sekali. Seperti sayap-sayap yang tak pernah digerakkan karena tujuh tahun terikat, lalu ikatan itu terurai perlahan. Rasanya siap untuk terbang ke ujung dunia. (BERSAMBUNG)

 

Posting Komentar

0 Komentar