Ilustrasi dari google.com |
MERAH KUNING HIJAU DI LAUT
BIRU (4)
“Gung, sebelum kerja di tempat yang sekarang, kamu sudah
pernah kerja dimana saja?” Tanya Carla.
“Eh, aku memang baru lulus kuliah, Mbak. Jadi baru
pertama kali ini bekerja,” jawabku.
“Hih, kamu ini. Jangan panggil ‘Mbak’. Panggil saja aku;
Carla.”
“Eh, iya maaf, Mbak, eh, Carla.”
“Kamu dulu kuliah ngambil jurusan apa, Gung?”
“Aku jurusan Seni Rupa, Carla.”
“Wah, kamu jago gambar dong berarti.”
“Enggak, kok. Cuma hobi aja coret-coret.”
“Kapan-kapan gambarin aku ya,”
“Boleh, tapi aku takut hasilnya nggak sesuai harapanmu.”
“Sok tahu deh kamu, Gung. Memangnya kamu tahu apa harapanku?”
“Sepertinya aku tahu.”
“Apa coba, harapanku?”
“Emm ... menjadi anak yang berguna bagi nusa dan
bangsa??”
“Haha ... ngaco! Jawaban anak SD, itu mah!”
Kapten Togar menambah kecepatan. Suara mesin speedboat semakin menderu-deru.
Aku dan Carla harus saling berteriak untuk dapat
mendengar ucapan masing-masing. Sampai kemudian Carla membuka maskernya.
“Capek aku teriak-teriak, suara teredam masker, suara
mesin kapal berisik, huh!!”
Aku langsung terpesona saat Carla mempertunjukkan
keseluruhan wajahnya. Wah, aku harus meralat perbandingan antara Carla dengan
mantan pacarku tadi. Mereka berdua bukan hanya sedikit berbeda, melainkan
terlalu banyak perbedaannya.
“Gung, kalau kamu sedang tidak kerja, misalnya pas akhir
pekan, gitu. Biasanya kamu ngapain?”
“Aku justru seringnya dapat jadwal masuk kerja pas akhir
pekan.”
“Nggak ada waktu luang kah?”
“Ada sih.“
“Biasanya ngapain tuh pas lagi senggang?”
“Akhir-akhir ini aku lagi suka nulis.”
“Oh, nulis-nulis cerita, gitu?”
“Iya betul.”
“Siapa penulis favoritmu, Gung?”
“Kalau dari luar negeri, aku suka Dan Brown. Penulis
dalam negeri, aku lebih suka Dee Lestari.”
“Oh, Dee Lestari. Dia penulis bagus tuh.”
“Betul. Kamu mengenalnya, Carla?”
“Kenal karena memang dia terkenal, bukan karena saling
kenal. Hehehe. Kamu sendiri sudah lama kenal beliau?”
“Aku juga belum pernah kenalan dengannya sih.”
“Hahaha. Coba nanti disempatkan berkenalan, Gung.”
“Insyaa Allaah, nanti kucoba berkenalan dengannya,
doakan ya,”
“Memang kalau mau berkenalan itu harus didoakan dulu,
ya?” Tanya Carla.
“Tentunya,
sebagai insan beragama, melakukan hal apapun sebaiknya didahului dengan doa.”
Jawabku.
“Supaya apa?”
“Supaya terhindar dari keburukan, dong.”
“Memangnya keburukan apa yang mungkin terjadi saat kamu
nanti berkenalan?”
“Banyak, bisa saja saat berkenalan tiba-tiba aku
kelepasan kentut, misalnya.”
“Hihihi. Itu mah kamunya kebangetan, Gung.”
“Makanya
tolong dong, doakan.”
“Iyaaa! Bawel! Ngomong-ngomong, kamu kenapa sih ingin
jadi penulis, Gung?”
“Aku memang suka menulis. Almarhum ayahku pun penulis.
Dia jurnalis di sebuah media cetak.”
“Oh, ayahmu sudah almarhum? Maaf ya aku baru tahu. Doa
terbaikku untuk beliau.”
“Iya, nggak apa-apa. Terima kasih, ya.”
“Kalau boleh tahu, almarhum ayahmu sakit apa?”
“Ayahku gugur saat sedang meliput kasus pembebasan lahan
hutan adat yang akan dijadikan area pembangunan waduk. Saat itu pondok tempat
ia menginap tiba-tiba saja sudah terbakar habis dalam semalam. Beberapa warga
setempat termasuk kepala adat yang menginap di pondok itu pun ikut jadi korban.
Anehnya jasad mereka tidak ditemukan. Seolah pihak-pihak yang melawan rencana
pembangunan harus dihilangkan sampai tanpa sisa. Ada yang bilang, pondok itu memang
sudah kosong saat dibakar. Isunya, ayahku beserta para tokoh masyarakat yang
selama ini melawan pembangunan waduk, diculik dan dibuang ke tengah laut dengan
pemberat terikat ke tubuh mereka.”
Tanpa sadar, aku bercerita terlalu banyak. Lengkap pula
dengan perasaan emosional yang terbawa. Betapa
perasaan tak menentu saat takdir tiba-tiba merampas orang yang kita cintai dari
kehidupan, tanpa memberi kita kesempatan untuk berjumpa lagi dengannya, bahkan
untuk sekadar menziarahi makamnya. Entah di mana ayahku, minimal jasadnya, kini
berada.
Dengan susah payah kutahan air mata. Bodohnya aku ini,
lupa sedang bersama seorang wanita. Mengapa aku harus tampak lemah begini? Nampaknya
Carla menyadari hal itu dan berusaha mengalihkan fokus pembicaraan.
“Biasanya penulis memiliki nama pena, kan? Siapa nama
penamu?”
“Aku tak punya nama yang aneh-aneh buat jadi nama pena,
sih. Nama lengkapku Agung Irawan, tapi dalam karyaku selalu kucantumkan nama
‘Agung bin Yunai’. Yunai adalah nama ayahku dan itu membawa motivasi dan
kebanggaan tersendiri untukku.”
“Unik
juga. Jarang ada nama pena seperti itu, soalnya. Oh satu lagi pertanyaanku,
Gung. Kamu sudah punya pacar?”
Kaget
juga mendengar todongan pertanyaan Carla barusan. Maka kujawab saja apa adanya.
“Pernah
punya, tapi umurnya tidak panjang ....”
“Oh,
maafkan ... aku ikut berduka cita, Gung. Malangnya hidupmu, kehilangan seorang
ayah dan kekasih pun meninggal dunia.”
“Eh,
pacarku bukan meninggal. Maksudku tadi umur hubungan kami berdua yang tidak
panjang,” buru-buru kuluruskan ucapanku. Ah, bahkan ngobrol normal dengan
wanita saja terasa sulit buatku.
“Oh,
hahaha. Maaf ya aku salah tangkap.” Carla memaksakan diri tertawa dengan
canggung.
Untungnya, Carla pintar mencairkan suasana. Dia lantas
melanjutkan pembicaraan dengan topik musik dan lagu-lagu favoritnya. Ternyata
selain sama-sama penyuka lagu-lagu daerah, kami berdua juga menggemari irama
jazz. Obrolan hangat berlanjut tanpa terasa di bawah teriknya matahari pagi dan
ayunan speedboat di tengah lautan.
Kata-kata yang keluar dari bibir Carla bagaikan lantunan lagu merdu yang biasa
kusaksikan di channel youtubenya.
Bedanya, kali ini tanpa suara musik latar, hanya harmonisasi dari deru mesin speedboat dan sesekali diiringi melodi
dari debur ombak yang bersahutan dengan kicau camar. Hingga sekitar satu jam
kemudian, saat si Botak Bimbim mendekati kami berdua.
“Kalian berdua dipersilakan masuk ke kabin. Aku sudah
menyajikan gorengan dan teh hangat,” katanya cuek dengan sebatang rokok masih
melekat di bibir. Kalimat yang seharusnya terdengar ramah itu malah kurasa
membuat telingaku seperti kemasukan semut.
“Wah, makasih ya, Bang. Sini dong, gabung
ngobrol-ngobrol sama kita,” ajak Carla ramah.
“Silakan ngobrol saja berdua, Neng. Saya bukan jenis
orang yang tiba-tiba ikut campur obrolan orang lain. Permisi, saya banyak
kerjaan.” Bimbim ngeloyor meninggalkan kami berdua.
Aku tahu maksud kalimat Bimbim memang menyindirku
terkait insiden yang melibatkan kami berdua di jalan tadi pagi. Sementara Carla
yang tidak tahu menahu tentu saja menatapnya kebingungan.
“Hih, aneh banget sih dia itu. Aku kan cuma mencoba
ramah. Eh, menurutmu kalau dia lebih berotot, agak mirip Vin Diesel, nggak,
sih?” Ucap Carla.
“Nggak. Lebih mirip tuyul,” jawabku singkat.
“Dih, kamu bisa jahat juga, Gung. Nggak nyangka. Hahaha,”
Carla tertawa renyah.
“Masuk, yuk. Setidaknya kita hargai dia dengan menyantap
hidangannya,” ajakku yang langsung disetujui Carla.
***
Setelah kenyang menyantap aneka gorengan dilengkapi secangkir
teh hangat. Kami bercengkerama di dalam kabin. Tak lama sebelum Kapten Togar
melambatkan laju kapal hingga akhirnya mematikan mesin.
Lalu Kapten turun bergabung bersama kami di kabin.
“Baiklah, saudara-saudara. Kita telah sampai di titik
pemancingan pertama. Di sini lah tempat yang banyak terdapat ikan layur,
baronang, kerapu, kakap, dan anggota paguyuban ikan laut lainnya. Tapi jangan
mengharap ada Marlin, yah. Hehe.” Kapten Togar terkekeh.
“Mantap, Kapt. Perlengkapan sudah siap?” Tanya Om Wira.
“Tuh, sudah disiapkan oleh Bimbim di luar. Kita tinggal
nongkrong saja menunggu umpan digigit. Tapi jangan lupa habis nongkrong,
disiram ya. Hahaha!”
“Hih, Kapten ini … Jorok!” Lagi-lagi Carla mengeluarkan
jurus cubitan mautnya. Kali ini Kapten (sengaja) terlambat bereaksi sehingga ia
pun mengaduh saat cubitan itu mendarat di lipatan lemak di perutnya.
Saat semua orang keluar dari kabin untuk bersiap
menikmati acara memancing. Aku meminta izin kepada Kapten Togar untuk naik ke
anjungan kemudi sekali lagi. Beliau dengan ramah menawarkan apakah aku mau
ditemani. Tadinya aku berniat ingin menyendiri sambil menikmati momen memandang
lautan luas dari anjungan kemudi. Tapi mengingat Kapten Togar adalah pribadi
yang menarik dan kebapakan, tentu aku lebih dari sekedar bersedia.
“Kopi, Gung?” Kapten Togar menawarkan.
“Terima kasih, Kapt. Aku nggak ngopi.” Tolakku sesopan
mungkin.
“Wah, jarang-jarang nih, aku bertemu pemuda yang tidak
minum kopi.” Kapten Togar tersenyum.
“Perutku gampang mual kalau minum kopi, Kapt,” jujurku.
“Wah, sayang juga, tapi setidaknya kamu sudah mengetahui
ketidakmampuan fisikmu. Tak perlu melawan kenyataan itu, cukup berdamai saja
dalam senyuman. Dan ... jangan khawatir, bukan berarti kamu kehilangan
identitas sebagai pemuda sejati meski harimu tanpa kopi.” Kata Kapten Togar
masih dengan senyum khasnya.
“Keren banget kalimat barusan, Kapt. Cocok jadi quotes.”
“Ah, apa itu kuwot-kuwotan? Aku tak paham istilahmu,
Gung. Hehehe.”
“Namun, Kapt. Kadang-kadang aku merasa sesekali harus mencoba
minum kopi. Supaya bisa merasakan sensasi jadi laki-laki sejati.”
“Kalau memang kenyataannya kamu nggak mampu, ya jangan
dipaksakan, Gung. Biasanya, Tuhan memberi ketidakmampuan pada seseorang itu
karena ingin memberinya suatu kelebihan lain untuk menutupinya.”
“Maksudnya apa, Kapt?”
“Maksudnya adalah ... aku sendiri tak tahu! Aku cuma
asal bicara saja biar terkesan bijak, hahaha!” Kapten tertawa terbahak. Aku
juga ikut terbahak.
“Sudahlah, Gung. Silakan nikmati pemandangan di sini
sepuasnya. Izinkan aku menikmati kopiku sepuasku. Anggaplah aku tak ada di
sini. Tapi kalau mau, silakan kamu boleh bertanya tentang apa saja,” kapten mengangguk
ramah padaku.
Aku pun menurut. Kutunaikan niatku untuk menikmati udara dan pemandangan laut dari jendela anjungan kemudi yang tak berkaca. Sayup-sayup terdengar kicau kawanan camar di kejauhan.
Baca Juga
Cakrawala di titik terjauh pandangan mata memang seolah
tak berujung. Namun sepengetahuanku, jika kita berlayar dalam garis lurus, maka
setidaknya kita akan menjumpai daratan, mungkin menabraknya, andai kita terus melaju
tanpa mengurangi kecepatan. Dan itu seperti sebuah hukum pergerakan benda di
alam semesta. Kemanapun ia bergerak pasti akan menjumpai benda lain, sangat
mungkin pula bertumbukan dengan benda lain. Baik itu sebuah pergerakan maju
atau pun mundur.
Lalu bagaimana kah dengan perjalanan waktu? Seiring
berjalannya waktu, di masa depan pasti aku akan bertemu dengan kenyataan atau
pun kejadian-kejadian baru. Mungkin bertabrakan, atau berbenturan dengan
masalah-masalah baru. Saat hal itu benar-benar terjadi kelak, aku yakin
pikiranku akan mengenang kembali momen yang sedang kunikmati saat ini. Saat di
mana aku sedang berdiri di dalam sebuah kapal di tengah lautan tenang. Merasa
damai tanpa masalah, seolah hidupku akan berlangsung selamanya.
Demikian pula andai aku bisa bergerak mundur melalui
jalur waktu. Mampukan aku kembali berdamai dengan semua kenyataan? Seperti ...
kenyataan pahit yang merenggut nyawa ayahku? Andai aku ada di lokasi kejadian,
mampukah aku menyelamatkannya?
Tak perlu melawan
kenyataan, cukup berdamai saja dalam senyuman.
Kalimat Kapten Togar terngiang di telingaku.
“Kapt …?” Aku memberanikan diri bertanya.
Kapten Togar menatapku. Tangannya bergerak terlipat di
dada. Gestur ini seolah mengkonfirmasi bahwa ia siap mendengarkan tanpa harus
menyahut panggilanku barusan.
“Kapt … maafkan kalau saya lancang. Kapten kan, pernah
kehilangan anak. Bagaimana caranya berdamai dengan kenyataan jika kita kehilangan
orang yang kita sayangi?”
“Kapten tak perlu menjawabnya kalau tak mau ....”
Buru-buru kutambahkan.
Kapten tersenyum, yang dengan itu membuatku lega. Aku
sempat terpikir pertanyaan tadi terlalu berani.
“Boleh kutebak? Tentang siapa ini … almarhum seorang
ayah, kah?” Entah dari mana Kapten Togar mengetahui maksud pertanyaanku.
Mungkin ia sempat mendengar percakapanku dengan Om Wira tadi pagi.
“Betul, Kapt. Ayah saya sudah tujuh tahun lalu
meninggal. Tapi dalam hati terdalam saya seperti sulit merelakan kepergiannya,”
jujurku.
“Gung, hukum pertama dari rasa cinta atau sayang adalah:
sekuat apapun cinta, ia tidak memberi kita kuasa. Kuasa untuk memiliki
sepenuhnya, kuasa untuk menentukan takdirnya, bahkan kuasa untuk menjamin
apapun terkait keberadaannya. Aku yakin kamu sudah tahu tentang ini meski
mungkin belum sepenuhnya bisa memahami.”
“Intinya, orangtua, anak, saudara, kekasih … siapapun
yang kita cintai di dunia ini, tak akan mampu kita kuasai sepenuhnya. Karena
jiwa mereka bukan milik kita. Bahkan, tak ada orang di dunia ini yang bisa
memiliki jiwanya sendiri sepenuhnya.” Lanjut Kapten.
Aku membisu. Tak tahu harus menanggapi apa.
“Coba kutanya, Gung. Tujuh tahun kamu merindukan ayahmu.
Apakah itu bisa membuat beliau hidup lagi? Maksudku, secara fisik, apakah ia
akan mendatangimu dan berkata ‘Aku hidup lagi, Gung. Terima kasih karena telah
merindukanku selama ini’?”
“Yang mati akan tetap mati, baik kita mengikhlaskannya
atau tidak. Setidaknya sebagai insan beragama, kamu tahu ayahmu berada di
tempat dimana ia sekarang tak lagi berada dalam bahaya. Karena dijaga oleh Sang
Maha Menjaga. Tugas kita sebagai orang yang ditinggalkan, bukan urusan rela
atau tidak rela. Justru kita harus terus mendoakan mereka yang telah pergi.
Karena doa dan kenangan indah itulah yang akan selalu menjaga kita untuk tetap
berada dalam lingkaran hidup yang damai sepeninggal mereka.”
Kata-kata Kapten Togar menampar telinga sekaligus
hatiku. Sebuah tamparan yang menyakitkan dalam kebenaran. Rela atau tidak,
sudah kewajiban bagiku untuk terus mendoakan almarhum ayah.
“Gung ....” Lanjut Kapten lagi.
“Izinkan aku mengingatkan, sebagai laki-laki, kita tidak
dilarang untuk menangis. Tapi yang dilarang keras bagi seorang laki-laki adalah
menjadi lemah karena kehilangan. Waktu putriku meninggal, aku menangis setiap
hari, hingga berbulan-bulan. Sampai mataku bengkak. Tapi sesudahnya aku bisa
menerima karena aku yakin dia sudah dijaga di tempat yang aman sekarang. Lebih
aman daripada penjagaanku semasa hidupnya. Jadi aku tak perlu lagi khawatir.
Yakinlah bahwa ayahmu juga sekarang bahagia di sana. Lagipula kita masih punya
banyak orang yang menjaga kita di sini.” Kapten menunjuk ke arah buritan kapal.
Di sana semua orang terlihat sedang ramai bersenda gurau.
“Yuk, ikut denganku, kita temui para penjaga kita yang
masih ada, karena, mereka pun sekarang, butuh untuk kita jaga,” Kapten Togar
merangkulku.
Kami turun dari anjungan kemudi. Hatiku terasa lega sekali. Seperti sayap-sayap yang tak pernah digerakkan karena tujuh tahun terikat, lalu ikatan itu terurai perlahan. Rasanya siap untuk terbang ke ujung dunia. (BERSAMBUNG)
0 Komentar