Ilustrasi pixabay. Com |
MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (3)
“Loh, mau ke mana Kapten kita tadi?” Tanya Om Yulian terbengong-bengong.
“Sepertinya dia sedang menanti seorang kru yang biasa membantunya di kapal. Dari tadi pagi Togar sudah mencoba menghubunginya lewat handphone tapi anak buahnya itu belum sampai juga. Info terakhir beberapa menit lalu, dia sudah masuk area dermaga tapi sampai sekarang belum muncul juga batang hidungnya,” jawab Om Wira.
“Eh, masuk dulu yuk, ke dalam kabin. Ada satu orang penumpang lagi yang belum kuperkenalkan kepada kalian.” Om Wira bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kabin kapal. Kami pun mengikuti di belakangnya.
Aku belum pernah merasakan naik kendaraan seperti ini sebelumnya, jadi kupuaskan diri mengagumi setiap sudut bagian kapal ini. Pernah satu kali aku berlibur ke Pulau Tidung bersama teman-teman kampusku dulu, tapi perjalanan ke sana kami tempuh dengan mengendarai kapal feri dari kayu, bukan speedboat mewah seperti ini.
Memasuki kabin, tercium bau pengharum ruangan yang wangi dan menyejukkan. Tadinya kukira posisi tempat duduk penumpang berjajar mirip tempat duduk di pesawat. Tapi speedboat ini posisi tempat duduknya diatur sedemikian rupa dengan sandaran merapat ke dinding kabin, sehingga seluruh penumpang bisa saling berhadapan satu sama lain. Mirip seperti posisi tempat duduk penumpang di dalam angkot yang kunaiki tadi pagi. Tentu saja dengan begitu, ruangan dalam kabin ini jadi terkesan lega dan luas. Di tengah-tengah kabin tergelar matras karet berbentuk lingkaran yang cukup besar untuk diduduki lima orang sekaligus.
Seketika aku terbayang bapak juragan indekos tempatku tinggal. Beliau kerap mengadakan pengajian bulanan bersama empat orang anak-anak indekosnya termasuk aku. Tentu seru kalau acara pengajian bulanan itu diadakan di dalam kabin kapal ini. Tapi buru-buru kusingkirkan imajinasiku mengingat bapak juragan indekos mudah mabuk darat. Waktu akan mengikuti acara tablig akbar di Monas sebelum terjadinya pandemi, beliau muntah di dalam taxi sampai tiga kali. Aku berkeyakinan orang yang punya kebiasaan mabuk darat pasti akan lebih parah saat diajak berkendaraan di laut.
Di dinding kabin yang berwarna putih, terpasang beberapa hiasan menarik yang berhubungan dengan laut. Ada roda kemudi kapal dari kayu berukuran besar dengan diameter hampir satu meter. Lalu ada hiasan cangkang lobster besar yang diawetkan dengan formalin. Ada juga hiasan berbentuk miniatur ikan marlin biru yang terlihat gagah, tapi dengan ujung cucut yang agak patah.
Di kedua sudut ruang kabin bagian depan ada pot berisi tanaman keladi daun merah berbintik putih yang indah. Tadinya kukira itu hanya tanaman imitasi, tapi setelah melihat tanah kemerahan di dalam pot, jelaslah bahwa itu tanaman asli. Maka tentunya Kapten Togar tak sekeras yang kukira. Karena seingatku keladi hias seperti ini membutuhkan kelembutan hati dan tangan untuk merawatnya. Sayang aku tak tahu nama jenis daun keladinya.
Objek terakhir yang kuperhatikan di dalam kabin ini adalah juga makhluk hidup yang indah. Seorang wanita yang duduk bersandar tenang di dinding kabin. Ia terlihat sedang serius membaca majalah National Geographic. Separuh wajahnya memang tertutup masker, namun matanya yang bulat dan cerah tanpa maskara sudah cukup mewakili keseluruhan wajahnya yang menarik untuk dipandang.
“Nah, ini putriku, Carla,” Om Wira memperkenalkan nama putrinya dan perempuan tadi langsung berdiri sambil menganggukkan kepala kepadaku dan Om Yulian.
Memang tidak terlihat karena tertutup masker, tapi dari gestur matanya yang menyipit dan tulang pipinya yang mengembang, kuterka perempuan itu pasti sedang tersenyum.
“Wah, anakmu ini meski sedang pakai masker, tapi sudah ketahuan cantiknya. Beda jauh denganmu, Wira.” Om Yulian tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Ya, iya dong, jelas beda. Mosok, bapaknya cantik juga?!” Om Wira tersenyum masam.
“Gung, kamu suka nonton youtube, kah? Tolong subscribe channel milik Carla ini. Dia suka lala-lili di channelnya. Bernyanyi gaya bebas,” tutur Om Wira.
“Hih, Papa ini ... ngapain nyuruh-nyuruh orang subscribe segala?! Carla kan jadi malu,” Carla mencubit tangan ayahnya gemas.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Betul kiranya dugaanku. Wanita ini adalah Carla Andity Koesmodjo. Seorang penyanyi cover version lagu-lagu populer. Spesialisasinya lagu pop indonesia dan lagu campursari berbahasa Jawa.
“Sebetulnya saya sudah subscribe channel Mbak Carla ini sekitar setahun lalu. Karena saya juga suka lagu-lagu daerah. Sempat sedih banget waktu Didi Kempot meninggal, tapi terhibur karena lagu-lagunya sering dinyanyikan Mbak Carla,” ucapku.
“Nah, kebetulan kalau begitu. Carla, coba perlakukan penggemarmu ini dengan baik, ya,” goda Om Wira lagi kepada putrinya.
“Hih, Papa ini. Subscribe kan belum tentu ngefans. Bikin aku kege-eran aja deh.” Lagi-lagi Carla mencubit tangan ayahnya manja.
Lalu datanglah Kapten Togar dan seorang pria yang mengikuti di belakangnya.
“Baik, para penumpang yang terhormat, sebagai kapten, saya mohon maaf untuk keterlambatan jadwal keberangkatan kita. Itu semua gara-gara kru saya ini yang sibuk memperbaiki knalpot motornya sampai lupa waktu. Inilah orangnya, namanya Bimbim. Dialah yang nanti akan melayani anda semua selama perjalanan,”
“Selamat pagi, Pak, Bu, mohon maaf saya terlambat,” Kalimat permintaan maaf yang terdengar tak tulus dan diucapkan dengan nada malas dari bibir berasap yang menjepit sebatang rokok itu terasa semakin mengesalkan setelah aku melihat wajah sang pemilik suara.
Kepalanya yang botak plontos langsung mengingatkanku pada kejadian tadi pagi dalam perjalanan ke dermaga. Tak salah lagi, itulah orangnya. Si penunggang Motor Harley Davidson pemotong jalur angkot. Ia agak terkejut melihatku. Matanya menatapku tajam. Aku tahu dia masih mengingatku dengan jelas.
“Ya, sudah, tunggu apa lagi? Ayo kita berangkat, Kapten!” Seru Om Wira.
“Siap, Pak! Bim, nyalakan mesin, angkat sauh dan lepaskan tali sandar!” Titah Kapten Togar pada krunya.
Tak lama kemudian kapal bergerak perlahan meninggalkan dermaga Marina.
***
Baca juga
1.CERBUNG MERAH HIJAU DI LAUT YANG BIRU 2
2. CERBUNG MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU 1
Kapal speedboat White Angel menambah kecepatan. Aku sudah meminta izin Kapten Togar untuk ikut naik ke anjungan tempat ia mengemudikan kapal supaya baik jalannya, hey! tuktiktaktiktuk (tentunya bukan seperti itu suara speedboat yang sedang melaju).
Anjungan ruang kemudi terletak hampir dua meter lebih tinggi dari kabin penumpang. Kunaiki undakan menuju ke sana. Begitu kakiku menapaki lantai ruang kemudi, hembusan angin laut yang sejuk langsung menerpa wajahku. Jendela di depan ruang kemudi itu seharusnya dilapisi kaca. Tapi entah kenapa ada dua bingkai jendela yang dibiarkan tanpa kaca. Mengingatkanku pada angkot yang kunaiki tadi pagi.
Pemandangan indah tersaji di depan. Sejauh mata memandang hanya ada biru langit dan biru laut mendominasi yang saling bertemu pada garis cakrawala di kejauhan. Aku baru sadar laut dan langit memiliki warna biru yang saling berbeda. Biru laut terlihat lebih gelap dibandingkan dengan biru langit yang terkadang bersaput putih awan di beberapa kuadrannya. Ada dua speedboat lain yang juga terlihat melaju, jauh di depan speedboat kami.
“Kau sudah pernah naik speedboat sebelumnya, Gung?” Kapten Togar bertanya dengan setengah berteriak, tanpa menoleh ke arahku.
“Belum Kapt, ini yang pertama kali. Seru juga ternyata,” Jawabku.
“Sini, mendekatlah.”
Aku menurut.
“Peganglah roda kemudi ini sebentar.” Kapten Togar menggamit tanganku.
Aku tergugup “Eh, Jangan Kapt. Saya enggak bisa nyetir kapal. Naik sepeda pun kadang masih nyusruk di semak-semak.”
“Santai saja. Kau cuma perlu memegang roda kemudi ini saja. Jaga tetap stabil, tak perlu dibelok-belokkan,” ujarnya tenang. Ia sudah sepenuhnya melepas roda kemudi. Tangannya yang tadi memegang kemudi kini telah digantikan oleh tanganku.
Roda kemudi dari logam itu terasa dingin di tanganku, ada bagian yang terasa hangat karena bekas dipegang Kapten Togar. Getarannya yang lembut mengingatkanku pada kemudi wahana simulator adu balap mobil GTO yang pernah kumainkan di arena permainan Timezone. Agak canggung dan tegang memang. Tapi ini benar-benar seru dan menyenangkan! Aku sangat menikmatinya. Alangkah menariknya hidup Kapten Togar mengemudikan kendaraan di laut seluas dan seindah ini.
“Wah, kita punya kapten kapal baru ya?” Terdengar suara merdu seorang wanita di belakangku.
“Hehehe. Kaptennya tetap aku dong, Mbak. Sudah sana kau pacaran dulu, Gung!” Kapten mengambil alih lagi roda kemudi itu dari tanganku. Sejujurnya sih, belum puas aku mencobanya.
“Hih, Kapten ini. Aku kan juga baru kenal sama Agung!” Carla mengeluarkan jurus andalannya, mencubit tangan Kapten yang lantas berpura-pura menjerit kesakitan.
Aku tersenyum melihat tingkah Kapten Togar. Kesan keras yang tadi kutangkap dari wajah pria tua itu kini mulai memudar. Ia adalah seorang ayah. Setidaknya pernah menjadi seorang ayah. Aku tak tahu apakah ia punya anak lain atau tidak, selain putrinya yang sudah meninggal. Tapi cara ia menawarkan kemudinya kepadaku tadi, lalu menanamkan kepercayaan diri padaku adalah sikap khas seorang ayah. Demikian juga saat bereaksi terhadap cubitan Carla.
“Agung, kamu kuliah atau sudah kerja?” Tanya Carla tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Meski mulutnya tertutup masker, namun tone suara yg tinggi dan nyaring membuat semua ucapan perempuan itu terdengar dengan jelas di telingaku.
“Eh, anu … aku alhamdulillaah sudah kerja, Mbak. Baru dua bulan ini sih jadi karyawan di sebuah toko serba ada,” jawabku.
“Hih, aku belum tua, jangan panggil ‘mbak’ ah. Panggil saja aku ....”
“Mbok,” seloroh Kapten Togar yang langsung tertawa sendiri.
“Kapten, jelek!!” Carla mencubit lagi lengan kapten.
“Aduh, sakit! Hati-hati, Mbak, nanti aku nabrak ikan hiu, nih.”
“Hii … memangnya di sini ada hiunya, Kapt?” Mata Carla membelalak ngeri.
“Ada dong, Mbak, Hiu Martil, Hiu sekrup, obeng, paku payung, lengkap deh. Hahaha!” Kapten Togar tertawa lagi sambil sigap meliuk-liukkan tubuhnya ke segala arah menghindari cubitan Carla. Aku tertawa geli melihatnya.
“Yuk, Gung. kita ngobrol di buritan saja, malas aku berada di sini bareng kapten gila ini,” tiba-tiba Carla menggamit dan menyeret tanganku untuk mengikutinya turun.
Kapten Togar mengacungkan ibu jarinya ke arahku sambil mengangkat alis seolah mengucapkan selamat. Ah, sejujurnya aku lebih suka berada di anjungan kemudi ini. Ada sensasi seru dan nyaman di sana. Tapi, sepertinya susah juga menolak ajakan bidadari yang baru kukenal ini.
Carla terus berjalan tergesa. Menuruni anak tangga melintasi ruang tengah kabin, menuju ke luar, ke arah buritan di bagian belakang kapal, tempat aku mengobrol bersama Om Wira di awal pertemuan kami tadi pagi saat kapal masih sandar di dermaga.
“Wah, wah, ada yang bersemangat padahal baru kenal, nih.” Goda Om Wira menyaksikan kami terburu-buru melintasinya. Rupanya ia sedang bermain catur dengan Om Yulian.
“Waduh, aku salah nih, ngajak orang. Tiba-tiba langsung kena godaan putri juragan kapal!” Itu sudah pasti suara Om Yulian meski aku tak sempat melihat wajahnya karena langkah Carla ternyata cepat juga, membuatku tersandung-sandung mengikutinya.
“Mengajak orang ya tidak salah. Yang salah itu justru kalau kau yang jadi tergoda putriku, tua bangka! Ayo jalan, giliranmu!!” Seru Om Wira pada Om Yulian.
(bersambung)
0 Komentar