MENGAMBIL LUKA DI LANGIT || NANDI PRATAMA

Ilustrasi WallpaperBetter

Pulang, Rumahmu Bukan Aku

Kau tahu, ungkapan rindu yang begitu sakit.

Ketidakmampuan mencipta temu adalah rasa perih tak terperincikan


“ Aku merindukanmu “ adalah sosok yang tak lagi aku-pun kamu

Ia menjelma kata lantang terucap oleh bibir sesat yang enggan berharap

penuh luka tanpa harap untuk bercinta


Rindu adalah bualan paling magis

untuk orang yang jatuh pada pelukan sesaat

Kata adalah sihir paling indah bagi mereka

yang terjebak dalam dekap sementara ; dan duka selalu terpayungi oleh mereka

Hanya ilusi di dekap mereka yang tak sadar.


Sedang hati tertutup oleh mata

Membawa gunung di dinding ingatan


Kubiarkan lukisan yang lain selain dirimu abadi

Merumahkan tempat pulangku di taman, tempat yang dulu pernah kusinggahi


Ternate, 10 Februari 2020

Sketsa

Kau lubangi aku dari dalamnya gumam yang meluncur tanpa wajah

yang memakai baju pesta ; menyalakan lampu hingga larut malam

Sesekali makan-makanan itu menggigil menatap di ujung jalan yang berkabut

Menciut oleh penyakit

Temu mencair ; berita-berita hari ini adalah berita yang lahir dari alam yang tak pernah lahir

seperti kata tanpa penjaga, tanpa bayang-bayang, tanpa kendaraan-kendaraan

di dalam kebisuan malam yang menjadi-jadi


Setiap sentuhan memasang percakapan-percakapan

yang diambil diantara percikan-percikan air mata

Setengah hancur ; setengah berhembus menjadi perih di malam hari


Mungkinkah kau dapat mengenali setiap kehancuran yang kurasakan ?

Melihat bulan di interval gunung yang mengusap tumitku

dari entah dimana aku berasal 


Ternate, 25 November 2019

Penghakiman

Barangkali ungkapan cinta hanya sebatas hembusan angin di telinga 

yang tak mampu digapai oleh satu bintang, tak tersampaikan 

kepada satu-satunya hati yang kau muarakan.


Barngkali rasa cinta hanyalah tumpahan racun yang kau minum

Lalu ia merasuk kedalam tulang belikat ; sampai akhirnya pertunjukan ini berakhir

pada tepian pemakamanmu.


Luas pelukan dan hangatnya jiwamu

bukanlah sesuatu yang didamba,

Bagai hadir pengalih rasa sepi

Tak lebih dari ketukan manis yang dinantikan setelah tiba malam hari


Seperti belati menyayat urat nadimu

darah mengalir melewati teguh

dan tak terselamatkan


Percikan hati sering menyala-nyala

layaknya cerita sekedar teguh dalam ingatan

lindur dan kita hanyut dalam kesedihan.


Detak jarum tak juga berujung

Kasih teriris ; penolakan kau picu tepat pada jantungku.


Ternate, 22 Januari 2020


Baca juga

1. Puisi Asmara Tepi Kanal Karya Ardhi Ridwansyah.

2.Cembung Merah Kuning Hijau Di Laut Biru 3


Mengambil Luka Di Langit


Hujan tiba di pelukan malam

sedang langit tak benar-benar tahu caranya untuk pulang

Pada tangisan anak kecil darah telah berubah menjadi dewasa

Melukai hati sendiri ; diantara senyuman, pelukan dan ciuman

Kau adalah hujan pukul 6 sore yang selalu berkata “ aku tidak apa-apa “


Kata-kata dalam puisi ini menyembunyikan kemarahan pada kesendiriannya

Memesan lukisan di dinding kamar

Kelak masa depan bersedih sebab lukisanku hanya menggambarkan garis-garis berwarna hitam dan putih.


Semua nama menuliskan pikirannya masing-masing

memeluk kata cinta yang tak tahu kapan bisa tertawa


Ternate, 10 Maret 2021


Sendu ; Kepergianku


Aku memangku tetesan darah segar

saat terang menjulang di padang rumput yang riang.

Diam-diam ku tengok ibu yang menatap cermin sambil tersenyum malu.


Aku hanya izin sebentar tuk mengengok rumah yang kurindu

Setelah 10 jam lalu mayatku dirobek anjing-anjing liar tak tahu malu


Tanpa mengetuk pintu ; aku merayakan kematianku

pada malam-malam yang mendamba raibku dalam rumah terlampau atas-atas nama keserakahan untuk bahagia

Tak akan pernah ada yang mengenang.

Karena “ binasaku “ adalah keinginan semua orang


Entah seberapa besar dosaku, karena membiarkan mereka bersulang di atas tulang-belulang yang terpisahkan.

Seperti, semula hanya lalu yang menjadi karang….


Ternate, 08 Agustus 2019


Tumbuh Dalam Kenyataan


Pada akhirnya setiap hembusan angin dikoyak malam hari

saat hujan dibungkus kado kerelaan

Aku dan kamu tak pernah tahu kapan cinta harus dipulangkan

kerelaan yang mengantarkan kita sesaat sebelum abadi bertemu kesadaran

Rindu telah melebur menjadi ketidakberdayaan yang syahdu


Sering kuceritakan tentang hadirmu yang sedang menabung awan

tidakkah bisa sekali saja kita menepi

di sunyi yang paling sepi

untuk bicara antara dua bola mata

Siapa saja yang telah menyia-nyiakan air mata


Seandainya hujan di malam hari tak dibawa oleh geremis

Niscaya kamu akan keluar di depan gerbang

lalu menengadah sambil menghancurkan


Ternate, 18 September 2021

___________________________

Tentang Penulis

Nandy Pratama lahir pada tanggal 15 Februari 1997 , beliau adalah seorang terapis kesehatan sekaligus penyair dengan nama penanya Ternate Di Ujung Pena. Giat menulis telah ditekuni sejak masih SMP baik itu yang berupa cerpen ataupun puisi. Beberapa prestasi yang pernah diraih diantaranya pernah menjadi juara 2 lomba cipta puisi, 50 penulis terbaik, 100 penulis termuda selain itu beliau juga telah menulis 2 buah buku puisi yang berjudul “Terjebak Puisi dan Ina”. Pada tahun 2019-2022 beliau juga berkesempatan menjadi juri lomba cipta dan baca puisi yang diadakan secara online. Fb : Pratama Matali, No Telp/WA : 085232340866 (Nandy).


Posting Komentar

0 Komentar