Ilustrasi WallpaperBetter |
Pulang, Rumahmu Bukan Aku
Kau tahu, ungkapan rindu yang begitu sakit.
Ketidakmampuan mencipta temu adalah rasa perih tak terperincikan
“ Aku merindukanmu “ adalah sosok yang tak lagi aku-pun kamu
Ia menjelma kata lantang terucap oleh bibir sesat yang enggan berharap
penuh luka tanpa harap untuk bercinta
Rindu adalah bualan paling magis
untuk orang yang jatuh pada pelukan sesaat
Kata adalah sihir paling indah bagi mereka
yang terjebak dalam dekap sementara ; dan duka selalu terpayungi oleh mereka
Hanya ilusi di dekap mereka yang tak sadar.
Sedang hati tertutup oleh mata
Membawa gunung di dinding ingatan
Kubiarkan lukisan yang lain selain dirimu abadi
Merumahkan tempat pulangku di taman, tempat yang dulu pernah kusinggahi
Ternate, 10 Februari 2020
Sketsa
Kau lubangi aku dari dalamnya gumam yang meluncur tanpa wajah
yang memakai baju pesta ; menyalakan lampu hingga larut malam
Sesekali makan-makanan itu menggigil menatap di ujung jalan yang berkabut
Menciut oleh penyakit
Temu mencair ; berita-berita hari ini adalah berita yang lahir dari alam yang tak pernah lahir
seperti kata tanpa penjaga, tanpa bayang-bayang, tanpa kendaraan-kendaraan
di dalam kebisuan malam yang menjadi-jadi
Setiap sentuhan memasang percakapan-percakapan
yang diambil diantara percikan-percikan air mata
Setengah hancur ; setengah berhembus menjadi perih di malam hari
Mungkinkah kau dapat mengenali setiap kehancuran yang kurasakan ?
Melihat bulan di interval gunung yang mengusap tumitku
dari entah dimana aku berasal
Ternate, 25 November 2019
Penghakiman
Barangkali ungkapan cinta hanya sebatas hembusan angin di telinga
yang tak mampu digapai oleh satu bintang, tak tersampaikan
kepada satu-satunya hati yang kau muarakan.
Barngkali rasa cinta hanyalah tumpahan racun yang kau minum
Lalu ia merasuk kedalam tulang belikat ; sampai akhirnya pertunjukan ini berakhir
pada tepian pemakamanmu.
Luas pelukan dan hangatnya jiwamu
bukanlah sesuatu yang didamba,
Bagai hadir pengalih rasa sepi
Tak lebih dari ketukan manis yang dinantikan setelah tiba malam hari
Seperti belati menyayat urat nadimu
darah mengalir melewati teguh
dan tak terselamatkan
Percikan hati sering menyala-nyala
layaknya cerita sekedar teguh dalam ingatan
lindur dan kita hanyut dalam kesedihan.
Detak jarum tak juga berujung
Kasih teriris ; penolakan kau picu tepat pada jantungku.
Ternate, 22 Januari 2020
Baca juga
Mengambil Luka Di Langit
Hujan tiba di pelukan malam
sedang langit tak benar-benar tahu caranya untuk pulang
Pada tangisan anak kecil darah telah berubah menjadi dewasa
Melukai hati sendiri ; diantara senyuman, pelukan dan ciuman
Kau adalah hujan pukul 6 sore yang selalu berkata “ aku tidak apa-apa “
Kata-kata dalam puisi ini menyembunyikan kemarahan pada kesendiriannya
Memesan lukisan di dinding kamar
Kelak masa depan bersedih sebab lukisanku hanya menggambarkan garis-garis berwarna hitam dan putih.
Semua nama menuliskan pikirannya masing-masing
memeluk kata cinta yang tak tahu kapan bisa tertawa
Ternate, 10 Maret 2021
Sendu ; Kepergianku
Aku memangku tetesan darah segar
saat terang menjulang di padang rumput yang riang.
Diam-diam ku tengok ibu yang menatap cermin sambil tersenyum malu.
Aku hanya izin sebentar tuk mengengok rumah yang kurindu
Setelah 10 jam lalu mayatku dirobek anjing-anjing liar tak tahu malu
Tanpa mengetuk pintu ; aku merayakan kematianku
pada malam-malam yang mendamba raibku dalam rumah terlampau atas-atas nama keserakahan untuk bahagia
Tak akan pernah ada yang mengenang.
Karena “ binasaku “ adalah keinginan semua orang
Entah seberapa besar dosaku, karena membiarkan mereka bersulang di atas tulang-belulang yang terpisahkan.
Seperti, semula hanya lalu yang menjadi karang….
Ternate, 08 Agustus 2019
Tumbuh Dalam Kenyataan
Pada akhirnya setiap hembusan angin dikoyak malam hari
saat hujan dibungkus kado kerelaan
Aku dan kamu tak pernah tahu kapan cinta harus dipulangkan
kerelaan yang mengantarkan kita sesaat sebelum abadi bertemu kesadaran
Rindu telah melebur menjadi ketidakberdayaan yang syahdu
Sering kuceritakan tentang hadirmu yang sedang menabung awan
tidakkah bisa sekali saja kita menepi
di sunyi yang paling sepi
untuk bicara antara dua bola mata
Siapa saja yang telah menyia-nyiakan air mata
Seandainya hujan di malam hari tak dibawa oleh geremis
Niscaya kamu akan keluar di depan gerbang
lalu menengadah sambil menghancurkan
Ternate, 18 September 2021
___________________________
Tentang Penulis
Nandy Pratama lahir pada tanggal 15 Februari 1997 , beliau adalah seorang terapis kesehatan sekaligus penyair dengan nama penanya Ternate Di Ujung Pena. Giat menulis telah ditekuni sejak masih SMP baik itu yang berupa cerpen ataupun puisi. Beberapa prestasi yang pernah diraih diantaranya pernah menjadi juara 2 lomba cipta puisi, 50 penulis terbaik, 100 penulis termuda selain itu beliau juga telah menulis 2 buah buku puisi yang berjudul “Terjebak Puisi dan Ina”. Pada tahun 2019-2022 beliau juga berkesempatan menjadi juri lomba cipta dan baca puisi yang diadakan secara online. Fb : Pratama Matali, No Telp/WA : 085232340866 (Nandy).
0 Komentar