MELIHAT BANDA DARI MATA HATTA || IMAM BUDIMAN

 

Ilustrasi dari Depositphoto

Menanti Pulang

 

sunyi sosok di balik pintu, tanpa penunggu

telah lama tidak dihuni—tidak ditempati

 

apa makna rumah di rantauan, selain

masa kecil yang berkabut dan resah

          hanya pengelana malang

          yang tersesat membaca

arah dan amarah

 

Ciputat, 2023

 

Kepada Anak

 

kau bisa menyandarkan kepalamu

lalu tidur atau menangis di bahuku

dunia sungguh keras

tidak tahu mengasihani

tetapi ada aku. ada aku.

 

mungkin doa sama halnya di depan sengketa

saling mendahului lalu tersaji di meja tuhan

sementara sembahyang serupa ketundukan

pesinggah yang menunaikan alakadarnya.

 

Ciputat, 2023

 

Menengok Dapur

 

yang tumbuh, yang sabar, yang menyusun

daging dari air mata dan kantung susu ibu

          mencintai dunia kecil di dapur

          yang mengantarnya sendirian

          ke tungku hangat penuh doa

 

Ciputat, 2023

 

Merayakan Kematian

 

jika kematian tidaklah dicatat atau dirayakan

tanamkan kemudian akar tubuhmu di cermin

agar yang dikenang selalu layak dipantulkan

melalui cermin lain yang merawat keningmu

 

Ciputat, 2023

 

 

 

 

Sepanjang Puncak

 

kabut perlahan menuruni bukit sedangkan

angin lembut mencoba mengayun ranting

                      hujan menghambur lekas

                      membisukan kebun teh

                      memisah perjumpaan

 

Ciputat, 2023

 

Melihat Banda dari Mata Hatta

jangkar tidar diturunkan di dermaga ini,
memberatkan kenangan masa lampau
sampan, harum laut, terumbu nailaka
tiada serupa fommel haut mengantar
dua lelaki dalam pengasingan
pada 1936 yang merah.

dari selat naira, dua lelaki itu bertaruh
menyeberang di antara terumbu laut
tanpa kole-kole serta tabung udara
menjelmakan paru sebagai insang
selam panjang sampai di pesisir

—terik  yang membakar,
riak menyentuh tepian

dari puncak banda, sisa basah tubuh
bercampur asin laut dan bulir peluh
hatta mengitarkan pandangan
lalu memejamkan mata
merenung dan semedi
sejenak lalu seperti
wahyu sang nabi
di sunyi hira'

—suatu hari nanti
mungkin tidak kini
tanah ini akan abadi

Ciputat, 2022

 

 

 

 

 

 

 

 

Hikayat Silam Lesong  Batu

 

aku pulang ke tanah ibu.

tanah sunyi di ulu mahakam,

di sungai coklat tempat pesut

beranak-pinak dan teracuni

limbah sawit dan batubara.

 

dua abad sebelum sang nabi

lahir di jazirah, kerajaan kutai

bertahta nama di muara kaman.

 

sebongkah batu keramat,

alas abadi prasasti yupa.

 

mencatat sejarah di atas lesong batu;

persembahan ternak kerbau dan babi

dari sang raja kepada sang hyang.

 

Ciputat, 2022

 

Dalam Sebuah Catatan De Expres 1913

: Als ik een Nederlander was


runduk padi, rempah, dan sungai kecil

yang menghidupi moyang dan cucu kami

tidak untuk perut dan syahwat mereka

yang merampasnya; tanpa belas kasih

 

perayaan sunyi di antara tangis dan penindasan

di tengah perjamuan, minuman memabukkan,

atau musik yang tak pernah kami pahami

maksud dan artinya sampai hari ini

 

runduk padi, tidak tunduk pada telunjukmu

rempah dan sungai kecil, tumbuh dan mengalir

sampai hari ini, kepada kami pasca 1945

 

Ciputat, 2022

 

 

Baca juga Air Mata Laut Karya RAMLI Q. Z


 

Kuah Sup

 

semangkuk kecil kuah sup

dengan cecahan wortel dan kol

menjadi pengantar tidur anak gubuk

 

dalam tidur, ditemuinya ayah wortel

dan ibu kol di rumah mangkuk

—keduanya sedang bercinta

di dalam didih panci

 

ia membisikkan ke kuping panci:

kulumat kau, yah, sehabis-habisnya

kuremah kau, bu, sepayah-letihnya

 

namun selamanya ia merasa lapar

di sela-sela giginya yang tinggal piatu

 

Ciputat, 2022

 

Riwayat Seekor Godzilla dan

Indomie Rasa Ayam Bawang

 

aku memiliki sebuah akuarium,

airnya tak beriak, tenang tanpa ricik

seekor godzilla dibalik karang plastik.

 

lelapnya mengimbuhkan huruf

zzzz pada teks karangan ini.

 

godzilla itu kujemput keluar dari mimpi

baru saja, di antara tidur singkatku tadi

 

karena lapar dan waktu dini hari,

aku buatkan untuknya indomie

ayam bawang tanpa sawi.

 

tetapi, tak puas ia rupanya

sekarang aku bermalam

di lubuk lambungnya.

 

Ciputat, 2022

 

__________________________________________________________________________

Tentang Penulis

Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Menyelesaikan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences. Semasa kuliah, turut aktif di Komunitas Diskusi dan Kajian Sastra Rusabesi. Biografi singkat dirinya termaktub dalam buku: Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017); Ensiklopedia Penulis Sastra Indonesia di Provinsi Banten (Kantor Bahasa Banten, 2020); dan Leksikon Penyair Kalimantan Selatan 1930–2020 (Tahura Media, 2020). Karya-karyanya tersebar di berbagai media cetak nasional seperti: Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Indopos, Majalah Sagang Budaya, Majalah Sastra Kandaga, dll. Pada tahun 2017 meraih Penghargaan Student Achievement Award, kategori karya Sastra, dari Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kini, mengabdikan diri sebagai Pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia di Madrasah Darus-Sunnah dan SMA Adzkia Daarut-Tauhiid.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar