Ilustrasi Aliexpres.com |
Airmata Laut
Mungkin sudah terlalu
lama bagimu menangis di pantai ini. Pantai yang bagimu telah menciptakan segala
kenangan, apalagi tatkala senja menyipit kau masih saja setia menunggu suamimu
datang setelah mengadukan nasib pada samudra, membawakanmu ikan-ikan segar.
Sementara kulit di sekujur tubuhnya sudah tak seindah saat kau berdua masih
bertunangan, kini telah berubah warna hitam legam akibat sinar matahari
memanggang kulitnya.
Sesekali juga, kau setia menunggunya hingga senja tak
menyapa wajahmu dan kaki langit di ufuk barat seperti membisu. Namun biasa dia segera datang tanpa harus berlama-lama kau
duduk termangu dengan wajah setengah khawatir. Maka dirimu segera membantunya
menurunkan segala peralatan dari atas sampan; dayung, timba dan gulungan tali.
Setelah menyelesaikan semuanya, lalu kau pulang sambil mengikuti ceceran air
yang menetes dari bajunya hingga membasahi setiap jejak tapak kakinya.
Entah sekarang siapa yang kau tunggu di pantai ini? Siapa
yang akan membuatmu bahagia sama sepertinya ketika memberikanmu ikan? Hanya
perlahan-lahan kau teteskan air
mata hingga menyatu dengan air pantai yang diomabang-ambing oleh gelomabang menuju tepian.
Baca Juga
Pertama, aku mendengar kabar dari tetangga bahwa suamimu
tak pulang dari pelayarannya. Hati ini seolah tak
percaya, mungkin saja menurutku cuma sekedar candaan para tetangga di kampung
kita. Lagi pula suamimu jika
berlayar selalu memakan waktu berbulan-bulan di tengah lautan. Sehingga tak
jarang sekali mulut tetangga berceloteh bahwa suamimu telah menjadi suami Nyai
Roro Kidul, namun kau membalasnya dengan tersenyum, seolah memustahilkan
perkataan itu.
Ternyata iya, hanya suamimu yang tak kembali pada
perteduhan sendiri, padahal dia telah membangunnya bersamamu. Segala usaha ia
kerahkan, dan tak sedikit pula butiran bulir keringat menyembul di dahinya.
Bisa dibayangkan, lelaki yang awalnya sebagai kuli bangunan di kampung sendiri
sudah mampu membangun mulai dari pondasi rumahnya hingga selesai menjadi tempat
yang teduh dengan kasih sayang.
Sungguh aku tahu jelas ketika suamimu telah menyelesaikan
rumah itu. Justru dia sempat bertamu ke rumah H. Matraya, pemilik seluruh kapal
pelayaran, dan kebetulan juga rumah H. Matraya sederet dengan rumahku. Aku
mendengar tanpa sengaja percakapan mereka berdua. Ternyata suamimu ingin sekali
ikut berlayar, karena menurutnya, sebagai kuli bangunan sangat tidak menjanjikan.
Alasannya, dia ingin membahagiakanmu dan bayi yang bakal lahir itu.
“Padahal saya telah melarangnya untuk berlayar, namun dia
tetap memaksa saya. Saya cuma takut memiliki nasib sama seperti Maddin, yang
hilang tak ditemukan di pelayarannya. Ternyata, hal yang saya takuti semakin
mengambil suami saya dengan sayap-sayap nasibnya,” begitulah jawabmu ketika aku
bertanya bagaimana sebelum kepergiannya.
“Sabar, ya, semoga saja engkau mampu menerima ujian ini.”
Aku membujukmu, sambil menepuk pelan
pundakmu yang mengendur dan sambil membelai halus rambut kusutmu, tak terawat.
Mulai saat aku sampai di rumahmu, tampaknya kau terlihat
bahagia dengan kehadiranku. Ternyata, sekarang, kau malah mulai menampakkan
intipan air mata di permukaan matamu setelah
aku sedikit bertanya tentang suamimu.
Sebenarnya bukan itu maksudku, membuat hatimu semakin
perih akibat air laut itu membawa kabar
duka, diantarkan oleh desir anginnya sehingga keras menjadi kristal garam
penyiksa luka-luka. Tapi aku yakin engkau pasti mampu melelehkan dengan
airmatamu.
“Sampai kapan saya akan melupakannya, sementara senyum
bibirnya menjadi penyemangat hidup saya, seluruh ruangan rumah ini menampakkan bayangan
tubuhnya, dan ditambah lagi, dia meninggalkan janin dalam perut saya.” Engkau
alihkan tatapan kepada perutmu yang membuncit.
Sempat aku berpikir jauh kala itu tentang kandunganmu.
Bagaimana jika bayi itu lahir lalu bertanya: Siapa Ayah saya, Ibu? Kau akan menjawab apa? Mungkin saja kau akan
menjawab sejujurnya, namun konsekuensinya kau akan menatap linangan air mata
baru, membentuk lurik kecil di pipinya. Jika tidak, kau akan tersiksa sendiri
sebab pertanyaan anakmu kelak akan menjadi tusukan ribuan jarum pada luka
hatimu.
Selain itu juga, aku berpikir seumpama ini terjadi padaku
selaku seorang istri, bagaimana nasibku? Ah, semoga tidak.
“Kalau seumpama kau berniat kuat untuk melupakan berarti
sama halnya kau menciptakan dirimu sebagai istri durhaka. Apakah kau mau? Saya
kira tak perlu melupakan tapi membiasakan ikhlas menerima ketetapan-Nya, itulah
prinsip dan hakikat hidup sebenarnya.” Kepalamu hanya mengangguk, dan badanmu
seolah tak berdaya.
Melihat tubuh tak berdaya itu aku kepikiran tehadap
kesehatan janin yang dikandungnya. Lalu kupijat pundak dan dua betismu ketika
kau berselonjor sambil mendengarkan kau bercerita tentang suamimu. Aku
menyimpulkan bahwa sebenarnya dirimu mengabarkan terhadapku tentang
ketidakmampuanmu untuk ikhlas terhadap kepergiannya. Terbukti saat kau sangat
khusyuk bercerita kemudian tanpa sengaja kau menyebut nama suamimu itu, matamu
akan terpejam, perlahan kau hirup napas pelan-pelan lalu kau lepaskan secara
perlahan, di situlah aku sangat yakin dirimu pasti merasakan kehadirannya
melalui indra. Dia pasti serasa membelai rambutmu, mencium perut buncitmu,
menggenggam tangan dan sambil mencium satu per satu jari-jarimu.
“Sungguh saya sekarang baru sadar, apakah mereka telah
berhasil mengantarkan suami saya memenuhi lamaran Nyai Roro Kidul?” tanyamu
dengan tatapan kosong setelah sedikit lama terpejam.
“Tidak, dia sekarang malah justru menunggumu di surga.”
“Dengan cara apa untuk sampai ke sana? Saya ingin sekali
berpapasan sebetar walupun mengelus bayangannya,”
tanyamu mulai
aneh.
Tiada yang bohong dari kata orang-orang bahwa dirimu
semakin hari menjadi tersiksa. Seolah-olah segala jejaknya kau abadikan menjadi
pusaka yang suatu saat nanti ujungnya mampu membunuhmu.
Memang aku meyakini dirimu adalah sosok istri paling
setia suami. Tapi, sepanjang jalan untuk menempuh itu tentunya kau sendiri
telah menabung kenangan sehingga hanya menghapus satu jejak saja seperti pohon
besar yang tumbang tanpa memiliki harapan bangkit.
Sengaja pula aku membujukmu dengan cara membawa bayi
dalam kandunganmu di perbincangan kita. Bukankah bayi itu adalah harapan
besarnya? Dia ingin sekali melihat anak pertamanya tumbuh dewasa, berpendidikan
tinggi, dan serta menjadi penyejuk bagi lingkungan sekitar.
“Intinya sekarang, suamimu ikhlaskan, sekarang kau pupuk
harapannya, jadikanlah bayi itu sesuai keinginannya, lalu kau bawa dia
menjemput ayahnya di surga,” saranku.
Tiba-tiba kau menghapus airmatamu disertai sungging
senyum yang sebagai pembendung tangis selanjutnya.
“Jangankan sampai tunggu bayi ini lahir, saya sudah melakukannya. Bayi ini
sering saya bawa berenang ke pantai, sepertinya dia telah berani
memanggil-manggil nama ayahnya sendiri.” Tanganmu mengelus halus kandungan yang
berisikan bayi yatim jika suatu saat nanti dilahirkan.
“Tapi jangan lama-lama kasihan bayinya kedinginan, nanti
sakit,” sesekali aku sisipkan canda yang seketika mampu membuat senyummu
semakin rata, dan duka di wajahmu mulai memudar sedikit-sedikit.
“Mana ada bayi kedinginan, justru dia meraung memanggil
nama ayahnya,” balasmu seolah kau sangat mendukung candaan kita. “Tapi mengenai peristiwa dua hari lalu...”
Langsung dirimu diam, sepasang bibirmu kaku seolah tak
mampu mengutarakan katamu yang dua hari lalu.
“Peristiwa apa?”
“H. Matraya membuat saya ragu. Dia bilang suami saya
masih hidup namun dia tak akan kembali ke sini lantaran masih harus banyak utang
yag harus dilunasi kepadanya. Di sisi lain, teman sekapalnya justru mengatakan
suami saya telah mati, mereka telah menguburnya.” Tampak sekali wajahmu sangat
berat ketika mengulangi perkataan H. Matraya.
Sudah kuduga pasti dia memiliki maksud lain. Dasar lelaki
jahanam!
“Dia berkata apalagi selain itu?”
“Kalau saya tetap mengatakan suami saya mati, dia
mengatakan bahwa saya ada istri munafik. Kalau semisal hidup, mohon utang
pemberangkatan berlayar harus dilunasi, tapi tak apalah tanpa dibayar asalakan
saya bersedia menjadi istrinya. Tapi saya mau diperistrinya asalkan semuanya selesai.”
Masa iya, lelaki berusuk lidi dan jalannya mulai
reyot-reyot seperti H. Matraya memintamu sebagai istrinya yang baru? Sungguh
kau sangat berat antara memilih membayar hutang yang dibatasi waktunya
sementara kau sendiri masih belum mampu melunasi. Tapi, jangan sampai kau
bersedia konyol menjadi istri H. Matraya. Bagaimana nasib bayi itu dan dirimu
jika menjadi keluarganya, pastilah dia akan menjadikan anakmu sebagai pelaut
tanpa disekolahkan seperti lazimnya anak-anak lain. Sementara kau akan
tersisihkan dengan wanita baru yang dipilihnya suatu saat nanti
“Sudah kau lunasi saja, cicil utang suamimu asalkan
jangan bersedia menjadi istri H. Matraya. Insyaallah saya akan
membantumu,” saranku.
“Aku mesti ke pantai sekarang. Dan aku tidak
mau pulang lagi!”
Annuqayah Latee, 10 September 2021
_________________________________
Tentang Penulis
*Ramli
Q.Z. nama pena dari Ramli Qamarus Zaman, lahir di Pulau Tonduk, Raas,
Sumenep, 19 April 2002. Sekarang sebagai santri PP. Annuqayah Latee,
Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Alumni MI Nurul Jadid, MTs Kasyfudduja, dan MA I
Annuqayah. Penulis juga masih menempuh pendidikan di Instika (Institut Ilmu Keislaman
Annuqayah) jurusan IQT (Ilmu al-Quran dan Tafsir). Sekarang bergiat di
organisasi Forleste, LSA (Lesehan Sastra Annuqayah), Forleste dan sebagai
Pustakawan PPA Latee.
0 Komentar