CERPEN AIRMATA LAUT || RAMLI Q.Z.

Ilustrasi Aliexpres.com


Airmata Laut

Mungkin sudah terlalu lama bagimu menangis di pantai ini. Pantai yang bagimu telah menciptakan segala kenangan, apalagi tatkala senja menyipit kau masih saja setia menunggu suamimu datang setelah mengadukan nasib pada samudra, membawakanmu ikan-ikan segar. Sementara kulit di sekujur tubuhnya sudah tak seindah saat kau berdua masih bertunangan, kini telah berubah warna hitam legam akibat sinar matahari memanggang kulitnya.

            Sesekali juga, kau setia menunggunya hingga senja tak menyapa wajahmu dan kaki langit di ufuk barat seperti membisu. Namun biasa dia segera datang tanpa harus berlama-lama kau duduk termangu dengan wajah setengah khawatir. Maka dirimu segera membantunya menurunkan segala peralatan dari atas sampan; dayung, timba dan gulungan tali. Setelah menyelesaikan semuanya, lalu kau pulang sambil mengikuti ceceran air yang menetes dari bajunya hingga membasahi setiap jejak tapak kakinya.

            Entah sekarang siapa yang kau tunggu di pantai ini? Siapa yang akan membuatmu bahagia sama sepertinya ketika memberikanmu ikan? Hanya perlahan-lahan kau teteskan air mata hingga menyatu dengan air pantai yang diomabang-ambing oleh gelomabang menuju tepian.


Baca Juga 

1.  Puisi Mengambil Luka Di Langit Karya Nandi Pratama

2. Cerbung Merah Kuning Hijau di Laut Biru Karya Cygalla

            Pertama, aku mendengar kabar dari tetangga bahwa suamimu tak pulang dari pelayarannya. Hati ini seolah tak percaya, mungkin saja menurutku cuma sekedar candaan para tetangga di kampung kita. Lagi pula suamimu jika berlayar selalu memakan waktu berbulan-bulan di tengah lautan. Sehingga tak jarang sekali mulut tetangga berceloteh bahwa suamimu telah menjadi suami Nyai Roro Kidul, namun kau membalasnya dengan tersenyum, seolah memustahilkan perkataan itu.

            Ternyata iya, hanya suamimu yang tak kembali pada perteduhan sendiri, padahal dia telah membangunnya bersamamu. Segala usaha ia kerahkan, dan tak sedikit pula butiran bulir keringat menyembul di dahinya. Bisa dibayangkan, lelaki yang awalnya sebagai kuli bangunan di kampung sendiri sudah mampu membangun mulai dari pondasi rumahnya hingga selesai menjadi tempat yang teduh dengan kasih sayang.

            Sungguh aku tahu jelas ketika suamimu telah menyelesaikan rumah itu. Justru dia sempat bertamu ke rumah H. Matraya, pemilik seluruh kapal pelayaran, dan kebetulan juga rumah H. Matraya sederet dengan rumahku. Aku mendengar tanpa sengaja percakapan mereka berdua. Ternyata suamimu ingin sekali ikut berlayar, karena menurutnya, sebagai kuli bangunan sangat tidak menjanjikan. Alasannya, dia ingin membahagiakanmu dan bayi yang bakal lahir itu.

            “Padahal saya telah melarangnya untuk berlayar, namun dia tetap memaksa saya. Saya cuma takut memiliki nasib sama seperti Maddin, yang hilang tak ditemukan di pelayarannya. Ternyata, hal yang saya takuti semakin mengambil suami saya dengan sayap-sayap nasibnya,” begitulah jawabmu ketika aku bertanya bagaimana sebelum kepergiannya.

            “Sabar, ya, semoga saja engkau mampu menerima ujian ini.” Aku membujukmu, sambil menepuk pelan pundakmu yang mengendur dan sambil membelai halus rambut kusutmu, tak terawat.

            Mulai saat aku sampai di rumahmu, tampaknya kau terlihat bahagia dengan kehadiranku. Ternyata, sekarang, kau malah mulai menampakkan intipan air mata di permukaan matamu setelah aku sedikit bertanya tentang suamimu.

            Sebenarnya bukan itu maksudku, membuat hatimu semakin perih akibat air laut itu membawa kabar duka, diantarkan oleh desir anginnya sehingga keras menjadi kristal garam penyiksa luka-luka. Tapi aku yakin engkau pasti mampu melelehkan dengan airmatamu.

            “Sampai kapan saya akan melupakannya, sementara senyum bibirnya menjadi penyemangat hidup saya, seluruh ruangan rumah ini menampakkan bayangan tubuhnya, dan ditambah lagi, dia meninggalkan janin dalam perut saya.” Engkau alihkan tatapan kepada perutmu yang membuncit.

            Sempat aku berpikir jauh kala itu tentang kandunganmu. Bagaimana jika bayi itu lahir lalu bertanya: Siapa Ayah saya, Ibu? Kau akan menjawab apa? Mungkin saja kau akan menjawab sejujurnya, namun konsekuensinya kau akan menatap linangan air mata baru, membentuk lurik kecil di pipinya. Jika tidak, kau akan tersiksa sendiri sebab pertanyaan anakmu kelak akan menjadi tusukan ribuan jarum pada luka hatimu.

            Selain itu juga, aku berpikir seumpama ini terjadi padaku selaku seorang istri, bagaimana nasibku? Ah, semoga tidak.

            “Kalau seumpama kau berniat kuat untuk melupakan berarti sama halnya kau menciptakan dirimu sebagai istri durhaka. Apakah kau mau? Saya kira tak perlu melupakan tapi membiasakan ikhlas menerima ketetapan-Nya, itulah prinsip dan hakikat hidup sebenarnya.” Kepalamu hanya mengangguk, dan badanmu seolah tak berdaya.

            Melihat tubuh tak berdaya itu aku kepikiran tehadap kesehatan janin yang dikandungnya. Lalu kupijat pundak dan dua betismu ketika kau berselonjor sambil mendengarkan kau bercerita tentang suamimu. Aku menyimpulkan bahwa sebenarnya dirimu mengabarkan terhadapku tentang ketidakmampuanmu untuk ikhlas terhadap kepergiannya. Terbukti saat kau sangat khusyuk bercerita kemudian tanpa sengaja kau menyebut nama suamimu itu, matamu akan terpejam, perlahan kau hirup napas pelan-pelan lalu kau lepaskan secara perlahan, di situlah aku sangat yakin dirimu pasti merasakan kehadirannya melalui indra. Dia pasti serasa membelai rambutmu, mencium perut buncitmu, menggenggam tangan dan sambil mencium satu per satu jari-jarimu.

            “Sungguh saya sekarang baru sadar, apakah mereka telah berhasil mengantarkan suami saya memenuhi lamaran Nyai Roro Kidul?” tanyamu dengan tatapan kosong setelah sedikit lama terpejam.

            “Tidak, dia sekarang malah justru menunggumu di surga.”

            “Dengan cara apa untuk sampai ke sana? Saya ingin sekali berpapasan sebetar walupun mengelus bayangannya, tanyamu mulai aneh.

            Tiada yang bohong dari kata orang-orang bahwa dirimu semakin hari menjadi tersiksa. Seolah-olah segala jejaknya kau abadikan menjadi pusaka yang suatu saat nanti ujungnya mampu membunuhmu.

            Memang aku meyakini dirimu adalah sosok istri paling setia suami. Tapi, sepanjang jalan untuk menempuh itu tentunya kau sendiri telah menabung kenangan sehingga hanya menghapus satu jejak saja seperti pohon besar yang tumbang tanpa memiliki harapan bangkit.

            Sengaja pula aku membujukmu dengan cara membawa bayi dalam kandunganmu di perbincangan kita. Bukankah bayi itu adalah harapan besarnya? Dia ingin sekali melihat anak pertamanya tumbuh dewasa, berpendidikan tinggi, dan serta menjadi penyejuk bagi lingkungan sekitar.

            “Intinya sekarang, suamimu ikhlaskan, sekarang kau pupuk harapannya, jadikanlah bayi itu sesuai keinginannya, lalu kau bawa dia menjemput ayahnya di surga,” saranku.

            Tiba-tiba kau menghapus airmatamu disertai sungging senyum yang sebagai pembendung tangis selanjutnya.

            “Jangankan sampai tunggu bayi ini lahir, saya sudah melakukannya. Bayi ini sering saya bawa berenang ke pantai, sepertinya dia telah berani memanggil-manggil nama ayahnya sendiri.” Tanganmu mengelus halus kandungan yang berisikan bayi yatim jika suatu saat nanti dilahirkan.

            “Tapi jangan lama-lama kasihan bayinya kedinginan, nanti sakit,” sesekali aku sisipkan canda yang seketika mampu membuat senyummu semakin rata, dan duka di wajahmu mulai memudar sedikit-sedikit.

            “Mana ada bayi kedinginan, justru dia meraung memanggil nama ayahnya,” balasmu seolah kau sangat mendukung candaan kita. “Tapi mengenai peristiwa dua hari lalu...”

            Langsung dirimu diam, sepasang bibirmu kaku seolah tak mampu mengutarakan katamu yang dua hari lalu.

            “Peristiwa apa?”

            “H. Matraya membuat saya ragu. Dia bilang suami saya masih hidup namun dia tak akan kembali ke sini lantaran masih harus banyak utang yag harus dilunasi kepadanya. Di sisi lain, teman sekapalnya justru mengatakan suami saya telah mati, mereka telah menguburnya.” Tampak sekali wajahmu sangat berat ketika mengulangi perkataan H. Matraya.

            Sudah kuduga pasti dia memiliki maksud lain. Dasar lelaki jahanam!

            “Dia berkata apalagi selain itu?”

            “Kalau saya tetap mengatakan suami saya mati, dia mengatakan bahwa saya ada istri munafik. Kalau semisal hidup, mohon utang pemberangkatan berlayar harus dilunasi, tapi tak apalah tanpa dibayar asalakan saya bersedia menjadi istrinya. Tapi saya mau diperistrinya asalkan semuanya selesai.”

            Masa iya, lelaki berusuk lidi dan jalannya mulai reyot-reyot seperti H. Matraya memintamu sebagai istrinya yang baru? Sungguh kau sangat berat antara memilih membayar hutang yang dibatasi waktunya sementara kau sendiri masih belum mampu melunasi. Tapi, jangan sampai kau bersedia konyol menjadi istri H. Matraya. Bagaimana nasib bayi itu dan dirimu jika menjadi keluarganya, pastilah dia akan menjadikan anakmu sebagai pelaut tanpa disekolahkan seperti lazimnya anak-anak lain. Sementara kau akan tersisihkan dengan wanita baru yang dipilihnya suatu saat nanti

            “Sudah kau lunasi saja, cicil utang suamimu asalkan jangan bersedia menjadi istri H. Matraya. Insyaallah saya akan membantumu, saranku.

“Aku mesti ke pantai sekarang. Dan aku tidak mau pulang lagi!”

Annuqayah Latee, 10 September 2021 

_________________________________

Tentang Penulis

*Ramli Q.Z. nama pena dari Ramli Qamarus Zaman, lahir di Pulau Tonduk, Raas, Sumenep, 19 April 2002. Sekarang sebagai santri PP. Annuqayah Latee, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Alumni MI Nurul Jadid, MTs Kasyfudduja, dan MA I Annuqayah. Penulis juga masih menempuh pendidikan di Instika (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah) jurusan IQT (Ilmu al-Quran dan Tafsir). Sekarang bergiat di organisasi Forleste, LSA (Lesehan Sastra Annuqayah), Forleste dan sebagai Pustakawan PPA Latee.

 

Posting Komentar

0 Komentar