Ilustrasi CNBC |
MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (2)
Baca Juga Merah Kuning Hijau di Laut Biru Part 1
“Apa kabar, Gung?” Om Yulian merangkulku.
“Alhamdulillaah sehat, Om. Om Yulian sendiri bagaimana kondisinya setelah kena Covid?” Tanyaku.
“Sebetulnya Om kena Covid-nya kan tahun lalu. Bulan lalu giliran omicron yang menyerang tubuh renta ini. Lumayan, seminggu menginap di Wisma Atlet untuk kedua kalinya. Lucunya, Om di Wisma Atlet kemarin bertemu lagi dengan kenalan Om yang juga teman selantai saat di Wisma Atlet tahun lalu. Jadinya kami terkena Covid di waktu yang sama. Lalu dipertemukan lagi oleh Omicron. Hahaha.”
“Takdir kadang memang lucu, Om.”
“Betul, Gung. Begitulah takdir. Nah, kenalan Om di Wisma Atlet itulah yang mengajak kita memancing hari ini. Namanya Om Wira. Nanti Om perkenalkan kamu dengannya. Sekarang, mari kita cari dulu kapalnya.”
Kami berdua berjalan menyusuri dermaga. Om Yulian masih saja merangkulkan tangan kanannya ke bahuku. Jujur saja, kalau oleh orang lain yang merangkulku seperti saat ini, pasti aku akan merasa risih. Tapi karena ini adalah Om Yulian, yang merupakan kembaran ayahku, maka aku takkan menolak kehadiran ayah meski hanya dalam bentuk serpihan kenangan ataupun sebatas sensasi kebersamaan dengan orang lain yang mirip dengan almarhum.
“Om Yulian, sepertinya ada yang aneh,” ucapku.
“Wah, kamu memperhatikan juga ya, Gung. Om juga merasa ada yang aneh dari tadi. Kenapa kapal-kapal ini berwarna putih semua ya?” Om Yulian menatap kapal-kapal yang bersandar.
“Maksud Agung bukan itu, Om. Justru, yang aneh ialah perlengkapan Om Yulian hari ini.”
“Loh, Om nggak bawa perlengkapan apapun, kok.”
“Nah, itulah kenapa Agung bilang aneh. Kan, kita mau mancing. Kok, Om nggak bawa apa-apa? Minimal bawa joran atau bekal makanan.”
Om Yulian malah tergelak kencang mendengar kalimatku.
“Hahaha! Memang anaknya Yunai ini fotokopi ayahnya. Cerdas memperhatikan setiap detil sesuatu!”
Aku selalu bangga setiap ada orang yang menyamakanku dengan ayahku. Mendengar nama beliau disebut saja sudah terasa sangat menghangatkan hati.
“Ini semua permintaan Prawira, Gung. Prawira itu nama teman Om tadi, dialah yang mengajak kita mancing bareng hari ini. Orangnya superkaya! Tajir melintir! Om disuruh datang bawa diri saja dan boleh membawa seorang teman. Semua perlengkapan memancing, bahkan termasuk bekal makanan sudah dia siapkan di kapalnya.” Tutur Om Yulian bersemangat.
“Maaf, Om, kalau boleh tahu, kenapa Om Yulian mengajak Agung dan bukan teman-teman Om yang lain? Agung kan, nggak punya hobi memancing, nanti malah merepotkan.” Aku memberanikan diri bertanya.
“Kamu kan kemenakan Om satu-satunya. Dan kamu selalu jadi teman ngobrol yang menyenangkan, Gung. Selain itu, Om mengajakmu karena, maaf, semoga kamu tidak keberatan, ya. Om sedang rindu dengan si Yunai. Tidak ada orang lain di dunia ini yang bisa mengingatkan Om kepada kembaran Om yang brengsek itu, selain orang yang paling mirip sifatnya dengan dia, yaitu kamu, anaknya. Hahaha!” Om Yulian tertawa lepas. Bahkan gaya tertawanya pun sangat mirip dengan almarhum ayahku!
Unik rasanya, bagaimana kami berdua, ternyata satu sama lain saling menghadirkan kenangan pengobat kerinduan terhadap orang yang sama. Aku menganggap ayahku hadir dalam fisik Om Yulian. Sementara Om Yulian menganggap kemiripan sifatku sebagai pengganti kehadiran kakaknya. Ayahku memang terlahir satu jam lebih dahulu sebelum Om Yulian. Demikian cerita yang sering mereka ulang-ulang setiap sedang duduk bersama.
“Ngomong-ngomong, Om. Apa nama kapal yang dinaiki Om Wira?” tanyaku.
“Eh, betul juga. Apa namanya, ya? Pantas enggak ketemu-ketemu dari tadi, nama kapalnya pun Om lupa. Sebentar… nama kapalnya itu, kalau tidak salah, ada hubungannya dengan lokasi tujuan akhir kita nanti. Wira berencana, nanti sesudah acara memancing, mau ngajak kita mampir ke cottage miliknya di Pulau Bidadari. Bidadari itu kan, bahasa inggrisnya angel, nah! WHITE ANGEL! Itulah nama kapalnya!” Seru Om Yulian setelah agak berputar-putar dengan memori dan logikanya.
“Oh, berarti yang ini kapalnya, Om,” sahutku girang sambil menunjuk sebuah kapal berukuran paling besar di antara kapal-kapal lain di sekelilingnya.
Kapal bertuliskan ‘White Angel’ dengan font huruf Gothic di lambung kanannya itu terlihat paling megah dan anggun. Aku langsung kagum dan terpesona. Om Yulian tak berdusta. Pemilik kapal ini pastilah betul-betul “tajir melintir” seperti ucapannya tadi.
Di tengah-tengah kekagumanku. Tiba-tiba terdengar suara pria dengan tone berat, mirip suara Louis Armstrong, penyanyi jazz favorit ayahku.
“Yulian Dwinanto. Lama sekali kau dari tadi kutunggu! Langkah-langkah tuamu makin lambat nampaknya.”
Suara itu datang dari seorang pria yang muncul di jendela kabin kapal. Orangnya berkulit sangat putih cerah, dengan kumis dan janggut yang juga berwarna putih menunjukkan usia yang cukup lanjut. Dia mengenakan pullover warna abu-abu dan baju berkerah di balik pullovernya.
“Ah, Prawira Koesmodjo. Bagaimana kalau kita balap lari dari sini sampai gerbang Dufan untuk membuktikan siapa yang paling lambat?” Tantang Om Yulian percaya diri.
“Katanya kau belum menikah. Lha ini anakmu sudah sebesar ini.” Pak Prawira menelengkan kepalanya ke arahku.
“Dia bukan anakku. Ah, biarlah dia memperkenalkan dirinya sendiri.”
“Stop. Jangan berkata apapun dulu, anak muda. Maafkan ketidaksopananku sebagai tuan rumah. Kalian silakan naiklah dulu, hati-hati ya,” ucap Pak Prawira sambil menarik tubuhnya dari jendela kabin. Tampaknya ia sedang bergegas menyambut kami di ujung buritan kapal.
Aku dan Om Yulian menapakkan kaki dengan waspada ke pijakan di ujung buritan yang berayun-ayun tak menentu.
***
Di atas buritan, Pak Prawira menyambut hangat dengan mengajak kami saling berjabat tangan. Ia lalu mempersilakan kami duduk pada sandaran di tepi lambung kapal.
“Jadi, si Agung ini putra dari kembaranmu, si Yunai? Dia amat mirip dengan ayahnya.” Kata Pak Prawira menunjukku.
“Eh, Bapak kenal dengan ayah saya?” Tanyaku penasaran.
“Cukup panggil aku ‘Om Wira’ saja, Gung. Dan untuk menjawab pertanyaanmu, hehe... maaf aku belum pernah bertemu ayahmu.” Jawab Om Wira.
“Lalu, Bapak, eh, Om Wira tahu dari mana kalau saya mirip ayah saya?” Kejarku penasaran.
“Karena Yulian pernah bercerita padaku, bahwa kembarannya memiliki sifat-sifat yang berbeda darinya. Sifat-sifat itu kulihat ada padamu, semangat tinggi, mata berapi-api. Beda seperti Yulian yang mirip orang cacingan ini,” Om Wira menepuk bahu Om Yulian dan mereka berdua tertawa.
“Ini kita berangkat jam berapa, Wira? Keburu siang, nanti ikan-ikan telanjur berangkat ngantor. Pancingan kita bisa sepi, nih. Hehehe.” Om Yulian meskipun tidak seramai ayahku, tapi selera humornya hampir mirip dengan almarhum, meski jokes yang ia lemparkan lebih sering canggung dan garing.
“Kau ini sudah tua, tapi ucapannya kok seperti itu sih? Kurang sesuai, ah!” Di luar dugaan Om Wira tak tertawa dan memasang wajah serius.
“Loh, aku ini cuma becanda... maaf jangan marah, Wira,” Om Yulian terlihat salah tingkah.
“Aku tidak marah, maksudku kalau bercanda itu mbok ya sesuai fakta. Ini kan hari Sabtu, mana ada ikan ngantor? Mereka pasti bangunnya siang semua karena libur. Hahaha!” Om Wira langsung terbahak disusul dua detik kemudian oleh Om Yulian yang terlambat menyadari punchline dari joke Om Wira.
Terdengar langkah kaki dari arah kabin. Tak lama kemudian keluarlah seorang pria gempal. Usianya mungkin sedikit lebih tua dari Om Wira dan Om Yulian. Wajahnya terlihat keras seperti pahatan patung batu. Pria itu hanya berkaos oblong putih dengan celana training hitam. Tapi yang unik darinya adalah bandana merah yang diikatkan di kepalanya. Penampilannya sekilas mengingatkanku pada tokoh bajak laut di film-film hollywood.
“Nah, Yulian, kalau kau tadi bertanya tentang waktu keberangkatan kita, maka inilah orang yang bisa menjawabnya. Kapten Raja Togar.”
Om Wira memperkenalkan kami semua. Kapten Raja Togar sepertinya bukan orang yang gemar bicara. Terlihat ia memaksakan senyum kakunya pada semua yang hadir.
“Pak Wira kenapa tidak bermasker seperti tamu-tamu ini?” Tanya kapten kepada Om Wira.
Akhirnya aku bisa mendengar Kapten Togar bersuara. Walaupun menurutku lucu juga ia berkata demikian, karena ia sendiri tak mengenakan masker.
“Kau sendiri yang suruh aku lepas masker karena kau bilang udara laut lebih sehat,” jawab Om Wira.
“Kau benar, aku memang bilang begitu. Tapi firasatku, udara hari ini tak sebaik biasanya.” Kapten Togar menerawangkan matanya ke langit. Sebuah sikap yang menurutku misterius.
“Apakah kau berfirasat akan terjadi badai, Pak Kapten?” Tanya Om Yulian dengan ekspresi cemas.
“Aku bisa langsung tahu kalau ada badai, cukup dari melihat langit dan merasakan udara sekitar. Tapi hari ini, hmm... mungkin agak berbeda, entahlah, aku tak tahu pasti.” Kata Kapten Togar lagi.
“Apakah kau pernah mengalami firasat seperti ini sebelumnya, Togar?” Om Wira kini yang ganti bertanya.
“Betul, aku pernah mengalaminya. Di hari saat anak perempuanku meninggal terkena demam berdarah.”
Kami semua terdiam.
“Maaf ya, Pak. Kami turut berduka. Doa kami untuk almarhumah putri Bapak.” Ucap Om Yulian bersimpati.
“Ah, panggil saja saya Togar, Terima kasih doanya untuk putri saya. Kejadiannya sudah lima tahun yang lalu. Saya sudah ikhlas.” Kapten Togar terlihat memaksakan senyumnya kepada Om Yulian.
Kapten Togar menambahkan lagi, “Yang penting kalian semua tetaplah waspada dan berdoa, jangan melupakan Tuhan dimanapun berada. Karena laut adalah tempat dimana kita sulit untuk merasa aman.”
Aku sebetulnya ingin bertanya lebih jauh tentang kalimat terakhir Kapten Togar, tapi setelah mengucapkan kalimat itu dia langsung beringsut tanpa permisi dari buritan, lalu turun ke dermaga dengan sangat terburu-buru.
(bersambung)
Baca Juga
0 Komentar