Ilustrasi Google |
Balada Seorang Jagoan
Lelaki
itu berperawakan kekar dan perkasa karena ototnya padat berisi seperti seorang
atlit atau petinju. Dari kepalan tangannya saja telah tampak jika ia sangat
kuat. Dia selalu muncul di setiap tempat yang kudatangi saat aku sedang ada
urusan berbisnis di dusun itu. Pada awalnya aku agak merasa terganggu dengan
kemunculannya, tapi setelah sekian lama, aku menjadi terbiasa.
“Namaku
Jondri, aku asli kampung ini. Semua orang talang ini kenal padaku. Jika terjadi
apa-apa, mereka semua akan mengadu padaku.” Ujarnya sambil mengulurkan
tangannya padaku waktu pertama kali kami bertemu di belakang rumah Pak Min.
Ucapannya terkesan sombong, tapi ia berkata dengan penuh senyuman. Aku pun
menyambut uluran tangannya.
“Namaku
Gogon, dari Desa Subik,” balasku.
“Ada
keperluan apa kaudatang ke Talang Tanjak ini?” Pertanyaannya seakan menyelidik
namun nada bicaranya ramah.
“Oh...aku mau memborong petai Pak Min,” jawabku. Jondri lalu bercerita panjang lebar orang-orang Talang Tanjak yang memiliki banyak pohon petai di kebun mereka. Entah kenapa aku tak begitu tertarik dengan segala penjelasannya yang tak kuminta itu. Aku hanya masih bersikap waspada karena aku memang tak mengenalnya. Tapi aku juga sungkan untuk mengabaikan ucapannya, jadi aku tetap berusaha menanggapinya. Tubuh dan perawakannya yang kekar, cukup membuat orang gentar.
Baca Juga
Meski aku bukan warga dusun yang terletak di lereng pegunungan ini, tapi aku cukup banyak mengenal orang kampung ini. Warga Talang Tanjak seringnya berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar kampungku yang jatuh setiap satu pekan sekali. Aku justru heran karena tak mengenal Jondri. Aku rasa ia tidak pernah pergi ke pasar.
Selain
itu, aku juga bisa banyak bertanya pada Didin, anak Pak Min, jika membutuhkan
informasi terkait kampung ini. Didin menikah dengan warga kampungku dan kini
tinggal di sana. Dia pula yang menceritakan padaku jika ayahnya memiliki cukup
banyak pohon petai di kebunnya yang siap panen. Aku lalu menawarkan diri untuk
memborong petai-petai milik ayahnya. Pak Min sangat cocok dengan harga yang
kutawarkan.
Selama
ini warga Talang Tanjak menjual hasil kebun mereka ke pasar kecamatan, tapi
keuntungan mereka harus terpotong dengan biaya operasional. Mereka harus
menyewa mobil untuk mengangkut ke sana. Jika toh ada warga yang memiliki mobil
sendiri, tetap mengeluarkan biaya untuk bahan bakar dan upah buruh. Akhirnya
sebagian lagi menjual pada pengepul yang biasanya datang membeli, tapi harga
yang ditawarkan begitu rendah. Banyak tauke atau pemborong
senang memainkan harga sekehendak mereka.
***
Aku
sekarang cukup rutin datang ke Talang Tanjak, khususnya dua atau tiga bulan
ini. Hampir semua warga Talang Tanjak menjual hasil kebun mereka seperti petai,
jengkol, kelapa, duku, dan duren padaku. Setiap aku ke sana, aku selalu bertemu
dengan Jondri. Memang pada awal-awal pertemuan, betapa aku merasa bosan atau
mungkin lebih tepatnya merasa tak nyaman akan kehadiran dirinya yang kemudian
mengajakku berbincang panjang lebar tanpa bisa aku menghindar.
Memang
ia tidak begitu mengganggu. Saat aku agak repot memberi instruksi pada dua
orang anak buahku, Jondri pula dengan sigap akan membantu mengarahkan mereka.
Sebagai bos dan pemborong hasil bumi, aku memang tak perlu turun tangan bekerja
di lapangan, cukup memberi perintah dan arahan. Pada saat aku hanya mengawasi
itu, kadang kehadiran Jondri terasa membantu juga. Selain mengusir rasa jenuh,
lelaki yang usianya kutaksir kepala empat itu kadang lebih mampu menerjemahkan
perintahku dibanding anak buahku sendiri.
Meski
kadang aku terkesan mengabaikan lelaki itu atau kadang acuh tak acuh
menanggapinya, namun ia tetap ramah dan tetap datang menghampiriku di kebun
milik orang di mana aku sedang memborong hasil buminya.
“Bang
Jondri tidak mengurus kebun?” Tanyaku padanya suatu ketika.
“Kebunku
sudah beres,” jawabnya. Kadang ada rasa penasaran dalam diriku untuk bertanya
kenapa ia sering menghampiriku, apa ia tidak memiliki pekerjaan lain. Memang
aku datang ke dusun ini tidak setiap hari, hanya saat ada pemilik kebun yang
ingin menjual hasil kebunnya. Tapi kuurungkan niat itu, mungkin pada hari-hari
lainnya Jondri mengurus kebunnya, pikirku.
Aku
pernah bertanya pada Didin soal Jondri. Lelaki itu memang paling senang
mendatangi warga untuk berbincang.
“Sama
sepertimu, pada awalnya orang-orang kampung agak merasa terganggu dengan
kesenangannya berbincang, tapi lama-lama warga menjadi terbiasa. Jondri bahkan
bisa menjadi hiburan tersendiri juga,” cerita Didin.
“Ya,
dia cukup sadar diri juga. Jika kita berkata tak ingin diganggu, ia mau juga
berlalu,” kataku.
“Jondri
sebenarnya ringan tangan. Tanpa diminta, ia akan membantu orang dengan segera
jika membutuhkannya,” tambah Didin.
“Betul.
Sebenarnya siapa Jondri dan apa pekerjaannya di kampung ini?”
Didin
lalu bercerita jika orangtua Jondri dulunya adalah orang terkaya di Talang
Tanjak ini. Mereka telah meninggal dunia. Kini Jondri hidup dengan tanah
warisan berupa kebun kopi yang sangat luas.
“Seluruh
kebun kopinya diurus oleh orang. Ia hanya cukup mengawasi. Sesekali jika ia
mau, ia akan ikut ngoret, nyemprot rumput, atau memetik biji kopi.”
Didin menerangkan.
Semasa
muda, Jondri menghabiskan waktunya di perantauan untuk menuntut ilmu dan
bekerja. Sebagai anak orang kaya, Jondri sekolah di kota. Setelah itu ia
memutuskan bekerja di sana. Lelaki itu malas kembali dan tinggal di kampung
yang sepi ini. Ia telah terbiasa dan sangat menikmati kehidupan di luar sana.
Jondri
kemudian menikah dengan orang kota dan kabarnya memiliki anak juga dari
pernikahannya. Jondri pulang kampung mungkin hanya satu tahun sekali saat hari
raya. Ketika ayahnya meninggal dunia, Jondri baru sering menengok ibunya.
Hampir tiap bulan ia pulang. Ia sebenarnya mengajak ibunya untuk tinggal di
kota, tapi ibunya menolak. Ibu Jondri justru berpesan kalau dirinya telah
tiada, Jondri harus tinggal di desa mengurus semua tanah keluarga. Ibu Jondri
melarang anaknya menjual tanah-tanah itu.
Tak
lama kemudian, ibu Jondri menyusul suaminya. Jondri patuh pada wasiat ibunya.
Ia tak menjual tanah itu walau ia juga tak bisa mengurusnya langsung. Ia
mempekerjakan orang untuk mengurus kebunnya. Jondri mulai banyak menghabiskan
waktu di kampung. Menurut kabar, istri dan anaknya lebih senang tinggal di
kota. Jondri sangat memakluminya karena ia sendiri dulunya juga tak suka
tinggal di desa. Secara berkala ia pergi ke kota menjenguk istri dan anaknya.
“Ia
senang bercerita dan berbagi pengalamannya semasa muda, saat ia belajar dan
merantau ke banyak tempat di luar sana,” tambah Didin.
“Tapi
kenapa warga sini sepertinya agak kurang suka padanya?” Tanyaku.
“Sebenarnya
bukan kurang suka, tapi merasa sungkan. Jondri senang berkelahi saat muda. Ia
dengan mudah meninju, menghajar, atau mengajak duel orang yang memiliki masalah
dengannya. Ia tak pandang orang, warga sini atau warga kampung luar bisa ia
hajar. Ia jago bela diri, selalu menang saat berkelahi.”
***
Hari
itu aku baru kembali dari kota, menjual hasil bumi. Hari menjelang sore ketika
kami akan pulang. Di tengah perjalanan pulang, aku dan dua anak buahku melewati
daerah sepi. Aku sebenarnya cukup merasa ngeri karena daerah ini lumayan rawan.
Sesekali terjadi pembegalan di jalan. Tapi kuhibur diriku, ini masih pukul lima
sore, jadi yakin tak akan terjadi apa-apa, batinku. Kabar pembegalan terakhir
juga telah terjadi hampir empat tahun lalu.
Pada jalan yang agak menurun, aku melihat sebatang kayu besar melintang. Aku mulai diliputi kecemasan, ini pasti kesengajaan. Hari cerah tanpa angin kencang, bagaimana mungkin sebatang pohon bisa tumbang dan tampak sekali itu berupa batangan atau gelondongan. Aku berdoa dalam hati sambil meminta dua orang anak buahku untuk menyingkirkan batang pohon yang melintang di jalan itu. Aku berkata setenang mungkin walau tetap saja suaraku agak bergetar.
Baca juga
Betul, baru saja dua anak buahku akan mengangkat batang pohon itu, dari arah samping jalan yang penuh ditumbuhi pepohonan, muncul sekelompok orang. Aku menghitung ada empat orang. Wajah mereka tak kelihatan karena mengenakan kain topeng kepala seperti ninja dan dengan senjata parang di tangan. Aku kini mulai benar-benar dalam kecemasan terlebih dua orang dari mereka telah menggertak dan membuat dua anak buahku tak berdaya tanpa berani berbuat apa-apa dengan senjata di tangan mereka.
Dua
orang lainnya menghampiriku. Jika aku melawan, aku pasti bisa dibabat parang,
sementara aku tak membawa senjata dan tak kulihat besi panjang yang biasanya
tersedia. Tampaknya besi itu ada di belakang, di bak mobil. Masih kubiarkan
pintu mobil tertutup ketika dua orang itu mendekat. Aku bahkan tak sempat
mengirim pesan meminta bantuan. Bodoh sekali aku, kenapa tak dari tadi saat
mereka muncul, aku mengabari orang yang bisa menolongku meski aku juga tak tahu
siapa itu. Tempat ini cukup jauh dari kampungku.
Tiba-tiba
aku mendengar suara derum sepeda motor dari arah belakang. Semoga pengendara
sepeda motor itu bisa menjadi penyelamat kami. Aku berdoa dalam hati. Benar,
sepeda motor itu kemudian berhenti. Tenang sekali orang itu saat membuka
helmnya. Aku melihat orang itu, sungguh terkejut sekali. Ya, orang itu adalah
Jondri. Kulihat ia mengeluarkan sesuatu dari dalam jok sepeda motornya,
sepertinya ruyung atau double stick. Kudengar ia berteriak
menantang para begal itu. Keberanianku muncul, aku ingin mendorong kuat pintu
mobil untuk menghantam salah seorang pembegal itu. Tapi aku urungkan, ingin
menyaksikan terlebih dahulu adegan selanjutnya.
“Kalian
berempat, kemari. Lawan aku, Jondri!” Lantang sekali ia berkata sambil
memainkan benda di tangannya seperti bintang kungfu atau karate yang ada di
film action. Aku serasa sungguh tak percaya dengan apa yang terjadi
kemudian. Empat orang yang bersenjata itu secara serentak berlarian setelah
seorang yang berada dekat pintu mobilku memberi komando.
Setelah
empat sosok itu menghilang, aku turun mengucapkan rasa terima kasih pada
Jondri. Aku seperti tak bisa berkata apa-apa lagi kecuali ucapan rasa terima
kasih yang kuulang-ulang.
“Tak
apa Bos Gogon. Semua sudah aman. Aku akan mengawal Bos Gogon hingga
perkampungan depan.” Jondri berkata ramah seperti saat aku bertemu dan
berbincang di kampungnya. Bibirku tak kuasa menanggapinya, tentu bukan karena
bermaksud mengabaikan kemunculan Jondri yang tiba-tiba, tapi karena memang
masih merasa terguncang saja dengan peristiwa sebelumnya. Tapi yang jelas
kemunculan Jondri kali ini membuatku menjadi senang dan tenang.
Mobil
kami berhenti di perkampungan depan, Jondri memastikan bahwa semuanya aman. Ia
sempat bercerita jika ia baru dari kota dan memang melewati jalan yang sama
untuk pulang ke desanya. Aku baru sadar jika kampung tempat kami berhenti
terletak di dekat persimpangan jalan menuju Talang Tanjak. Aku masih diliputi
rasa agak tak keruan karena memang ini adalah pengalaman pertama kalinya. Aku
sempat bertanya pada Jondri tentang empat orang yang mencegat kami tadi.
“Itu
bukan begal, aku bisa menduga siapa mereka.” Jawaban Jondri itu mengejutkanku.
“Lalu
siapa mereka?”
“Lupakan
saja. Kini mereka juga tak akan berani mengganggu Bos Gogon lagi.” Jondri
menjawab dengan yakin dan mantap. Aku masih penasaran, berarti Jondri mengenal
atau bisa mengidentifikasi empat pencegat kami tadi, tapi lelaki itu
mengingatkan jika hari telah petang dan memintaku segera pulang.
Saat mobilku akan melaju kembali, aku melihat beberapa warga yang rumahnya terletak di pinggir jalan kampung itu menghampiri Jondri dengan sapaan yang terasa hangat sekali. Sepertinya mereka mengenal Jondri dengan sangat baik.
***
Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan jurusan Komunikasi Penyiaran Islam STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), dan sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Facebook: Mahrus Prihany (Mahan Jamil Hudani) IG: mahrusprihany
0 Komentar