BALADA SEORANG JAGOAN || MAHRUS PRIHANY

Ilustrasi Google

 Balada Seorang Jagoan

Lelaki itu berperawakan kekar dan perkasa karena ototnya padat berisi seperti seorang atlit atau petinju. Dari kepalan tangannya saja telah tampak jika ia sangat kuat. Dia selalu muncul di setiap tempat yang kudatangi saat aku sedang ada urusan berbisnis di dusun itu. Pada awalnya aku agak merasa terganggu dengan kemunculannya, tapi setelah sekian lama, aku menjadi terbiasa.

“Namaku Jondri, aku asli kampung ini. Semua orang talang ini kenal padaku. Jika terjadi apa-apa, mereka semua akan mengadu padaku.” Ujarnya sambil mengulurkan tangannya padaku waktu pertama kali kami bertemu di belakang rumah Pak Min. Ucapannya terkesan sombong, tapi ia berkata dengan penuh senyuman. Aku pun menyambut uluran tangannya.

“Namaku Gogon, dari Desa Subik,” balasku.

“Ada keperluan apa kaudatang ke Talang Tanjak ini?” Pertanyaannya seakan menyelidik namun nada bicaranya ramah.

“Oh...aku mau memborong petai Pak Min,” jawabku. Jondri lalu bercerita panjang lebar orang-orang Talang Tanjak yang memiliki banyak pohon petai di kebun mereka. Entah kenapa aku tak begitu tertarik dengan segala penjelasannya yang tak kuminta itu. Aku hanya masih bersikap waspada karena aku memang tak mengenalnya. Tapi aku juga sungkan untuk mengabaikan ucapannya, jadi aku tetap berusaha menanggapinya. Tubuh dan perawakannya yang kekar, cukup membuat orang gentar.

Baca Juga

  1. Puisi Cerita Pagi Karya Patrick Poto
  2. Cerbung Merah Kuning Hijau di Laut Biru

Meski aku bukan warga dusun yang terletak di lereng pegunungan ini, tapi aku cukup banyak mengenal orang kampung ini. Warga Talang Tanjak seringnya berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar kampungku yang jatuh setiap satu pekan sekali. Aku justru heran karena tak mengenal Jondri. Aku rasa ia tidak pernah pergi ke pasar.

Selain itu, aku juga bisa banyak bertanya pada Didin, anak Pak Min, jika membutuhkan informasi terkait kampung ini. Didin menikah dengan warga kampungku dan kini tinggal di sana. Dia pula yang menceritakan padaku jika ayahnya memiliki cukup banyak pohon petai di kebunnya yang siap panen. Aku lalu menawarkan diri untuk memborong petai-petai milik ayahnya. Pak Min sangat cocok dengan harga yang kutawarkan.

Selama ini warga Talang Tanjak menjual hasil kebun mereka ke pasar kecamatan, tapi keuntungan mereka harus terpotong dengan biaya operasional. Mereka harus menyewa mobil untuk mengangkut ke sana. Jika toh ada warga yang memiliki mobil sendiri, tetap mengeluarkan biaya untuk bahan bakar dan upah buruh. Akhirnya sebagian lagi menjual pada pengepul yang biasanya datang membeli, tapi harga yang ditawarkan begitu rendah. Banyak tauke atau pemborong senang memainkan harga sekehendak mereka.

***

Aku sekarang cukup rutin datang ke Talang Tanjak, khususnya dua atau tiga bulan ini. Hampir semua warga Talang Tanjak menjual hasil kebun mereka seperti petai, jengkol, kelapa, duku, dan duren padaku. Setiap aku ke sana, aku selalu bertemu dengan Jondri. Memang pada awal-awal pertemuan, betapa aku merasa bosan atau mungkin lebih tepatnya merasa tak nyaman akan kehadiran dirinya yang kemudian mengajakku berbincang panjang lebar tanpa bisa aku menghindar.

Memang ia tidak begitu mengganggu. Saat aku agak repot memberi instruksi pada dua orang anak buahku, Jondri pula dengan sigap akan membantu mengarahkan mereka. Sebagai bos dan pemborong hasil bumi, aku memang tak perlu turun tangan bekerja di lapangan, cukup memberi perintah dan arahan. Pada saat aku hanya mengawasi itu, kadang kehadiran Jondri terasa membantu juga. Selain mengusir rasa jenuh, lelaki yang usianya kutaksir kepala empat itu kadang lebih mampu menerjemahkan perintahku dibanding anak buahku sendiri. 

Meski kadang aku terkesan mengabaikan lelaki itu atau kadang acuh tak acuh menanggapinya, namun ia tetap ramah dan tetap datang menghampiriku di kebun milik orang di mana aku sedang memborong hasil buminya.

“Bang Jondri tidak mengurus kebun?” Tanyaku padanya suatu ketika.

“Kebunku sudah beres,” jawabnya. Kadang ada rasa penasaran dalam diriku untuk bertanya kenapa ia sering menghampiriku, apa ia tidak memiliki pekerjaan lain. Memang aku datang ke dusun ini tidak setiap hari, hanya saat ada pemilik kebun yang ingin menjual hasil kebunnya. Tapi kuurungkan niat itu, mungkin pada hari-hari lainnya Jondri mengurus kebunnya, pikirku. 

Aku pernah bertanya pada Didin soal Jondri. Lelaki itu memang paling senang mendatangi warga untuk berbincang.

“Sama sepertimu, pada awalnya orang-orang kampung agak merasa terganggu dengan kesenangannya berbincang, tapi lama-lama warga menjadi terbiasa. Jondri bahkan bisa menjadi hiburan tersendiri juga,” cerita Didin.

“Ya, dia cukup sadar diri juga. Jika kita berkata tak ingin diganggu, ia mau juga berlalu,” kataku.

“Jondri sebenarnya ringan tangan. Tanpa diminta, ia akan membantu orang dengan segera jika membutuhkannya,” tambah Didin.

“Betul. Sebenarnya siapa Jondri dan apa pekerjaannya di kampung ini?”

Didin lalu bercerita jika orangtua Jondri dulunya adalah orang terkaya di Talang Tanjak ini. Mereka telah meninggal dunia. Kini Jondri hidup dengan tanah warisan berupa kebun kopi yang sangat luas.

“Seluruh kebun kopinya diurus oleh orang. Ia hanya cukup mengawasi. Sesekali jika ia mau, ia akan ikut ngoret, nyemprot rumput, atau memetik biji kopi.” Didin menerangkan.

Semasa muda, Jondri menghabiskan waktunya di perantauan untuk menuntut ilmu dan bekerja. Sebagai anak orang kaya, Jondri sekolah di kota. Setelah itu ia memutuskan bekerja di sana. Lelaki itu malas kembali dan tinggal di kampung yang sepi ini. Ia telah terbiasa dan sangat menikmati kehidupan di luar sana.

Jondri kemudian menikah dengan orang kota dan kabarnya memiliki anak juga dari pernikahannya. Jondri pulang kampung mungkin hanya satu tahun sekali saat hari raya. Ketika ayahnya meninggal dunia, Jondri baru sering menengok ibunya. Hampir tiap bulan ia pulang. Ia sebenarnya mengajak ibunya untuk tinggal di kota, tapi ibunya menolak. Ibu Jondri justru berpesan kalau dirinya telah tiada, Jondri harus tinggal di desa mengurus semua tanah keluarga. Ibu Jondri melarang anaknya menjual tanah-tanah itu.

Tak lama kemudian, ibu Jondri menyusul suaminya. Jondri patuh pada wasiat ibunya. Ia tak menjual tanah itu walau ia juga tak bisa mengurusnya langsung. Ia mempekerjakan orang untuk mengurus kebunnya. Jondri mulai banyak menghabiskan waktu di kampung. Menurut kabar, istri dan anaknya lebih senang tinggal di kota. Jondri sangat memakluminya karena ia sendiri dulunya juga tak suka tinggal di desa. Secara berkala ia pergi ke kota menjenguk istri dan anaknya.

“Ia senang bercerita dan berbagi pengalamannya semasa muda, saat ia belajar dan merantau ke banyak tempat di luar sana,” tambah Didin.

“Tapi kenapa warga sini sepertinya agak kurang suka padanya?” Tanyaku.

“Sebenarnya bukan kurang suka, tapi merasa sungkan. Jondri senang berkelahi saat muda. Ia dengan mudah meninju, menghajar, atau mengajak duel orang yang memiliki masalah dengannya. Ia tak pandang orang, warga sini atau warga kampung luar bisa ia hajar. Ia jago bela diri, selalu menang saat berkelahi.”

***

Hari itu aku baru kembali dari kota, menjual hasil bumi. Hari menjelang sore ketika kami akan pulang. Di tengah perjalanan pulang, aku dan dua anak buahku melewati daerah sepi. Aku sebenarnya cukup merasa ngeri karena daerah ini lumayan rawan. Sesekali terjadi pembegalan di jalan. Tapi kuhibur diriku, ini masih pukul lima sore, jadi yakin tak akan terjadi apa-apa, batinku. Kabar pembegalan terakhir juga telah terjadi hampir empat tahun lalu.

Pada jalan yang agak menurun, aku melihat sebatang kayu besar melintang. Aku mulai diliputi kecemasan, ini pasti kesengajaan. Hari cerah tanpa angin kencang, bagaimana mungkin sebatang pohon bisa tumbang dan tampak sekali itu berupa batangan atau gelondongan. Aku berdoa dalam hati sambil meminta dua orang anak buahku untuk menyingkirkan batang pohon yang melintang di jalan itu. Aku berkata setenang mungkin walau tetap saja suaraku agak bergetar.

    Baca juga

    1. Cerbung Merah Kuning Hijau di Laut Biru
    2.  Puisi  cerita Pagi Karya Patrick Poto

    Betul, baru saja dua anak buahku akan mengangkat batang pohon itu, dari arah samping jalan yang penuh ditumbuhi pepohonan, muncul sekelompok orang. Aku menghitung ada empat orang. Wajah mereka tak kelihatan karena mengenakan kain topeng kepala seperti ninja dan dengan senjata parang di tangan. Aku kini mulai benar-benar dalam kecemasan terlebih dua orang dari mereka telah menggertak dan membuat dua anak buahku tak berdaya tanpa berani berbuat apa-apa dengan senjata di tangan mereka.

    Dua orang lainnya menghampiriku. Jika aku melawan, aku pasti bisa dibabat parang, sementara aku tak membawa senjata dan tak kulihat besi panjang yang biasanya tersedia. Tampaknya besi itu ada di belakang, di bak mobil. Masih kubiarkan pintu mobil tertutup ketika dua orang itu mendekat. Aku bahkan tak sempat mengirim pesan meminta bantuan. Bodoh sekali aku, kenapa tak dari tadi saat mereka muncul, aku mengabari orang yang bisa menolongku meski aku juga tak tahu siapa itu. Tempat ini cukup jauh dari kampungku.

    Tiba-tiba aku mendengar suara derum sepeda motor dari arah belakang. Semoga pengendara sepeda motor itu bisa menjadi penyelamat kami. Aku berdoa dalam hati. Benar, sepeda motor itu kemudian berhenti. Tenang sekali orang itu saat membuka helmnya. Aku melihat orang itu, sungguh terkejut sekali. Ya, orang itu adalah Jondri. Kulihat ia mengeluarkan sesuatu dari dalam jok sepeda motornya, sepertinya ruyung atau double stick. Kudengar ia berteriak menantang para begal itu. Keberanianku muncul, aku ingin mendorong kuat pintu mobil untuk menghantam salah seorang pembegal itu. Tapi aku urungkan, ingin menyaksikan terlebih dahulu adegan selanjutnya.

    “Kalian berempat, kemari. Lawan aku, Jondri!” Lantang sekali ia berkata sambil memainkan benda di tangannya seperti bintang kungfu atau karate yang ada di film action. Aku serasa sungguh tak percaya dengan apa yang terjadi kemudian. Empat orang yang bersenjata itu secara serentak berlarian setelah seorang yang berada dekat pintu mobilku memberi komando.

    Setelah empat sosok itu menghilang, aku turun mengucapkan rasa terima kasih pada Jondri. Aku seperti tak bisa berkata apa-apa lagi kecuali ucapan rasa terima kasih yang kuulang-ulang.

    “Tak apa Bos Gogon. Semua sudah aman. Aku akan mengawal Bos Gogon hingga perkampungan depan.” Jondri berkata ramah seperti saat aku bertemu dan berbincang di kampungnya. Bibirku tak kuasa menanggapinya, tentu bukan karena bermaksud mengabaikan kemunculan Jondri yang tiba-tiba, tapi karena memang masih merasa terguncang saja dengan peristiwa sebelumnya. Tapi yang jelas kemunculan Jondri kali ini membuatku menjadi senang dan tenang.

    Mobil kami berhenti di perkampungan depan, Jondri memastikan bahwa semuanya aman. Ia sempat bercerita jika ia baru dari kota dan memang melewati jalan yang sama untuk pulang ke desanya. Aku baru sadar jika kampung tempat kami berhenti terletak di dekat persimpangan jalan menuju Talang Tanjak. Aku masih diliputi rasa agak tak keruan karena memang ini adalah pengalaman pertama kalinya. Aku sempat bertanya pada Jondri tentang empat orang yang mencegat kami tadi.

    “Itu bukan begal, aku bisa menduga siapa mereka.” Jawaban Jondri itu mengejutkanku.

    “Lalu siapa mereka?”

    “Lupakan saja. Kini mereka juga tak akan berani mengganggu Bos Gogon lagi.” Jondri menjawab dengan yakin dan mantap. Aku masih penasaran, berarti Jondri mengenal atau bisa mengidentifikasi empat pencegat kami tadi, tapi lelaki itu mengingatkan jika hari telah petang dan memintaku segera pulang.

    Saat mobilku akan melaju kembali, aku melihat beberapa warga yang rumahnya terletak di pinggir jalan kampung itu menghampiri Jondri dengan sapaan yang terasa hangat sekali. Sepertinya mereka mengenal Jondri dengan sangat baik.

    *** 

     ___________________________________

    Tentang Penulis

    Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan jurusan Komunikasi Penyiaran Islam STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), dan sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Facebook: Mahrus Prihany (Mahan Jamil Hudani)  IG: mahrusprihany

    Posting Komentar

    0 Komentar