IBU DALAM TUBUH SANUSI || YOHAN MATAUBANA

 

Doc.Pribadi

  

Saya pernah mengulas Puisi “Mama Menganyam Noken” Karya Gody Usna’at. Puisi yang berkisah tentang bagaimana perjuangan mama-mama di Papua untuk menghidupkan kearifan lokal sekalian membuka peluang usaha  bagi masyarakat Papua.

 

Orang bilang surga ada di telapak kaki Ibu. Mengapa demikian? Menurut saya di bawah telapak kaki ibu adalah gambaran suatu kehormatan. Telapak kaki itu berada pada bagian paling bawah. Untuk meraba telapak kaki, kita butuh tunduk atau merendah. Sebuah lakon tunduk atau merendah inilah yang mau digambarkan pepatah di atas tadi sebagai pesan untuk menghormati atau tunduk (taat) terhadap seorang ibu. Pujian terhadap kaum ibu baik yang dilukis Oleh Gody dalam bentuk puisi dan, menjadi suatu permenungan bahwa kaum ibu atau mama menjadi inspirasi hidup banyak orang.

 

Suatu kesempatan saya berkenalan dengan puisi-puisinya Sanusi Pane. Ia juga satu dari sekian banyak penyair yang menempatkan bunda atau ibu sebagai inspirasi sebuah puisi. Saya ingin mengulas isi puisi Pane yang sederhana dan maknanya cukup mendalam. Tetapi sebelum saya mengulas puisinya. Sekilas saya ingin  memperkenalkan siapa itu Sanusi Pane.

 

Sanusi Pane adalah Seorang Sastrawan berkebangsaan Indonesia yang tergolong dalam Sastrawan Angkatan Pujangga baru. Ia lahir  di Muara Sipongo pada tanggal 14 November 1905. Dalam masa hidupnya, ia menulis buku Pantjaran Tjinta (1926), Puspa Mega (1927), Madah Kelana (1931), Kertadjaja (1932), Sandhyakala ning Majapahit (1933), Manusia Baru (1940). Ia juga menulis buku sejarah Indonesia Sepanjang Masa (1952) dan karya lainnya. Saya menyukai salah satu puisi penulis Tapanuli ini yang berjudul Kepada Bunda. Sanusi Pane dengan sangat indah membaluti rahasia hatinya ke dalam puisi ini. Puisi pendek yang mempunyai makna yang melekat dalam hati pembaca.

 

 

 

Kepada Bunda

Terkenang di hati mengarang sari,
Yang kupetik dengan berahi
Dalam kebun jantung hatiku,
Buat perhiasan Ibunda-Ratu.

 

 

Catatan penting yang terkandung dalam puisi Sanusi:

·         Permainan Rima di setiap akhir baris: sari-berahi, hatiku-ratu. Permainan rima seperti ini menjadikan puisi ini terasa indah bunyinya ketika  dibaca.

·         Penokohan: Penulis menghadirkan Aku sebagai subjek dan Ibunda-Ratu sebagai Objek

·         Latar: tempat hati menjadi pusat di mana puisi itu bermula.

 

Soal pemaknaan puisi. Sanusi benar-benar memberikan kekebebasan pembaca menginterpretasi makna. Inilah yang dikatakan oleh Umberto Echo dalam bukunya The Name of The Rose  demikian melalui tokoh Wiliam:“Kau tahu?” kata William. “Kadang-kadang lebih baik jika rahasia-rahasia tertentu tetap terselubung oleh kata-kata esoteris.”(The Name of The Rose, hal.151). Demikian puisi Kepada Bunda adalah sebuah rahasia yang dinamakan kebun jantung hatiku. Adakah tumbuh-tumbuhan, berupa ubi, pisang, jagung atau air mata ibu barangkali. Tentu Bukan itu yang di maksud sebagai kebun hati. Lalu apa yang mau dikatakan Sanusi dalam puisinya?

 

Membongkar Rahasia

Terkenang di hati mengarang sari  Penulis memulai baris pertama puisi dengan menempatkan simbol mengarang sari sebagai gambaran isi hatinya. Sari (inti) sementara mengarang (hangus terbakar. Penulis mengandaikan pengalaman hidupnya sebagai suatu inti pengalaman yang sebetulnya telah membekas seperti arang. Yang kupetik dengan birahi (baris ke-2), kemudian penulis mengambil pengalaman itu dengan sangat birahi atau bisa dikatakan dengan sangat libido membangkitkan kembali kenangan yang terkenang dalam hatinya. Pada baris ke-3, ia berkata demikian Dalam kebun jantung hatiku. Dalam Ilmu Biologi Jantung mempunyai fungsi untuk memompa darah. Adanya jantung, darah yang penuh dengan oksigen bisa mengalir ke seluruh tubuh.  Mengandaikan tokoh Bunda (dikatakan dalam judul) puisi yang ditulis khusus ini, menjadi kehidupan yang berarti, yang bisa memompa semangat hidupnya. Dan hati adalah tempat menghancurkan racun dalam darah hingga proses pencernaan bisa berjalan baik. Penulis mengandaikan juga kehadiran Bunda itu sebagai salah satu penjaga atau pengobat rasa sakit ketika diracuni oleh beban hidup.

Jika bunda itu ada dalam kebun jantung hati(ku-si penulis). Maka sebetulnya puisi ini menyatakan keberhargaan seorang bunda dalam hidupnya. Bunda tidak hanya menjadi penyemangat, pengobat rasa sedih tetapi juga menjadi seseorang yang berharga seperti perhiasan sebagaimana yang Sanusi tulis dibaris akhir puisinya buat perhiasan Ibunda-Ratu. Jadi Sanusi bilang kemegahan seorang bunda tidak hanya sebatas bunda tetapi juga sebagai Ratu yang sesungguhnya di dalam hidupnya.

Di  akhir tulisan ini, saya ingin mengamin kemegahan seorang bunda dari Sanusi dengan mengutip apa yang dipuisikan Joko Pinurbo.

Mata Ibu

Setiap memandang matamu, Bu,/ aku melihat hujan sedang membersihkan senja/ yang kusam oleh bercak-bercak waktu/ Matamu adalah mataku/Matamu melahirkan air mataku.

Mari kita aminkan mata ibu sebagai mata kehidupan kita.*

Posting Komentar

0 Komentar