ULASAN YOHAN MATAUBANA-PUISI “PERBURUAN” DALAM DIRI

Pixabay.com

 PUISI: “PERBURUAN” DALAM DIRI

Umbu Landu Parangi bilang, Apa pun yang kita lakukan dalam kehidupan ini adalah perlombaan dalam kebaikan. Bukan perlombaan keunggulan satu sama lain. Demikian Menulis puisi bukanlah suatu perlombaan keunggulan, tetapi lebih tepatnya perlombaan dalam kebaikan. Semakin banyak penyair menulis puisi dan membagikan puisi itu ke publik, kemudian ketika banyak pembaca yang membaca, menafsir  berujung pada memaknai puisi itu sendiri, maka puisi telah menghadirkan kebaikan dirinya yakni “memberi makna” pada pembaca.

Pada kesempatan ini, saya dibuat kagum oleh salah satu puisi di sastramedia.com edisi 19/12/2022. Puisi itu berjudul PERBURUAN karya Dedy Tri Riyadi. Siapa itu Dedy Tri Riyadi? Melangsir dari Wikipedia Bahasa Indonesia Dedy Tri Riyadi lahir 16 Oktober 1974 di Tegal, Jawa Tengah. Beliau lulus dari jurusan Biologi, Institut Pendidikan Bogor. Dia pernah diundang dalam pertemuan penyair Nusantara.  Sebelum menekuni dunia penulisan sastra, ia bekerja di bidang periklanan. Tulisannya banyak dimuat di media Massa maupun media online. Tahun 2018, Dedy dinobatkan menjadi Penyair Muda Berbakat Terbaik versi situs Basabasi.co.

Meski Dedy menamatkan Pendidikan pada jurusan Biologi. Saya melihat bahwa Dedy adalah salah satu penulis yang beraroma Psikologi. Puisinya semacam mengantar pembaca pada tahapan menggali makna pada kepribadian pembaca. Salah satu puisinya demikian:

Perburuan

Setiap hari kau lepaskan seekor harimau-

karena hidup sebenar-benar lapar.

 Namun, harimau itu kadang tak mengaum

pada masa depan &lebih sering mengendus

Sesal di masa lalu.

Hanya selembar serat daging tipis

Mengantung di sela-sela taringnya.

2021

Sigmund Freud (1856 –1939) adalah seorang keturunan Yahudi dan pendiri aliran Psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi yang memberi perumpamaan untuk menunjukkan skema gambaran jiwa seseorang. Ia mencoba menggambarkan jiwa manusia ibarat gunung es. Freud mengatakan bahwa bagian puncak gunung dinamakan kesadaran (conconciousnes), bagian tengah dinamakan prakesadaran (sub conciousnes) dan bagian dasar yang tertutup air adalah ketidaksadaran (unconciousnes). Dan menurutnya “ketidaksadaran” pada individu memiliki peran yang utama dalam diri seseorang. Kerap kali orang tidak menyadari apa yang tampak dari dirinya seperti bertutur kata, cara bekerja saat ini, itu berasal dari keberadaan kita di masa lalu. Orang tidak tahu bahwa masa lalu yang tertanam dalam ketidaksadaran itu yang sebetulnya mengerakkan tingkah laku kita di hari ini. Contoh seseorang suka marah, ketika ditelusuri ternyata dulu dia suka dimarahi oleh orang lain, akhirnya dalam alam ketidaksadaran, itu  direkam  dan suatu saat akan muncul pada pembawaan diri.

Dalam puisi Perburuan. Saya membaca dari sisi Psikoanalisis Sigmund Freud tentang Jiwa Manusia.  Dedy Tri Riyadi menulis di bait pertama Setiap hari kau lepaskan seekor harimau-/karena hidup sebenar-benar lapar. Kata Harimau” saya memaknai sebagai jiwa manusia yang ganas, suka marah. Setiap hari kemarahan itu terus “dilepaskan”, karena hidup selalu dipenuhi akan kekurangan dan “lapar” akan kebahagiaan.

Sampai di sini, seperti apa yang dikatakan Freud bahwa untuk menyembuhkan atau mengetahui cara orang berperilaku adalah menggali masa lalunya. Dan itu terlihat dari bait kedua puisi ini Namun, harimau itu kadang tak mengaum/pada masa depan &lebih sering mengendus/Sesal di masa lalu. Yang mau dikatakan Dedy ialah bahwa kemarahan dalam jiwa seseorang  kadang bukan terjadi  karena kejadian yang sedang dihadapi, tetapi sebetulnya kemarahan itu sudah  “mengendus” sejak pengalaman di masa lalu. Dan pengalaman itu yang tersimpan seperti gunung es, dia berada pada dasar (ketidaksadaran) masa lalu kita. Dingin dan es membeku di masa lalu tentu akan mempengaruhi posisi kita berada. Semakin banyak kemarahan di masa lalu yang tertampung hal itu juga yang akan mempengaruh watak kita di masa depan.

Sekecil apa pun kemarahan yang ada dalam jiwa manusia, hal itu akan tertanam dalam ketidaksadaran kita seperti yang dikatakan penulis pada bait terakhir Hanya selembar serat daging tipis/Mengantung di sela-sela taringnya. Maka sekarang yang harus dipikirkan adalah bagaimana kita menjadi pribadi yang bisa memburu masa lalu itu di dalam gunung kejiwaan kita, agar “harimau” yang mengaum terus di masa lalu dan masa depan setidaknya bisa diminimkan. Saya tidak yakin  bahwa perburuan itu akan bisa 100% berhasil menghilangkan hal-hal buruk yang tertanam dalam alam bawah sadar tetapi setidaknya bisa mengurangi gemanya “harimau” di alam ketidaksadaran kita.

Dedi salah satu penyair yang membuktikan bahwa puisi tidak harus serumit yang dibayangkan kebanyakan orang.  Cukup dengan kata-kata yang sederhana. Tetapi bisa mengundang orang untuk menimba makna dibalik puisi itu. Kali ini saya membaca puisi Dedy dari sisi Psikoanalisis klasik Sigmund Freund. Barangkali pembaca juga akan menemukan cara lain membaca makna puisi ini.

Setiap puisi itu punya pembacanya tersendiri. Benar kata segelintir orang, bahwa menjadi penyair harus siap mati berkali-kali, sebab sekali puisi sampai di tangan pembaca, pada saat itu juga penyairnya mati di hadapan pisau penafsir yang membedahnya. Terima kasih puisi.

Posting Komentar

0 Komentar