Pixabay.com |
Katastrofe
Apakah bunker ini sengaja dibuat untuk
melindungi diri dari badai hujan? Mungkin frasa katastrofe menjadi kunci dari polemik yang dihadapi dalam konteks
ini. Sebuah tanda tanya besar bagi kita, bagaimana pikiran kita memahami
definisi seakan menyimpan pikiran kita sebagai gudang fiksi yang mampu menjamah
ruang dimensi di luar logika.
Pertanyaan yang
muncul, apa nama dan terletak dimana bunker tersebut, dan sebagainya. Lalu
kenapa badai hujan menjadi serangan yang begitu dashyat bagi manusia? Sebuah
malapetaka besar yang datang secara tiba-tiba, atau perubahan cepat dan
mendadak, hubungan bencana alam dan sebuah tragedi. Ini secara spontan akan
mengganggu pikiran manusia dan kondisi kejiwaannya. Pada titik terberat,
manusia seakan membayangkan sebuah kematian.
Efek kecemasan
yang begitu tinggi, seperti dalam film The
Rain seolah seperti sebuah gambaran terhadap peristiwa bencana yang terjadi
di bumi ini. Bunker sebagai tempat berlindung dan bersembunyi bagi manusia.
Meski dalam film itu hanya bagian skenario untuk menggambarkan sebuah realita.
Stimulus yang mendorong pikiran manusia dalam pertentangan logika dan fakta
justru menjadi gambaran yang menyempurkan animasi film. Manusia dihadapkan pada
kepanikan, seolah-olah memang nyata.
Dua tahun lalu
atau lebih, bumi ini mengalami goncangan skematik bagi penghuninya. Penyebaran
virus corona seakan menjadi momok ketakutan bagi kesehatan manusia. Bagaimana
nyawa harus bertahan, bahkan bersembunyi di lobang-lobang persembunyian yang
sepertinya tidak ada tempat yang aman. Musuh manusia menghadapi badai virus
yang secara kasat mata tidak kelihatan. Seakan sebuah badai besar yang
dilengkapi dengan pengawasan ketat oleh kekuasaan (panoptikon) malaikat pencabut ajal. Nyawa manusia bertumbangan
dimana-mana.
Katastrofe
memang seyogianya bukanlah sebuah kekuasaan yang membangun dinasti kapitalis.
Tetapi bisa menjadi alat untuk memanipulasi sistem. Bagaimana menjaga
kelangsungan keamanan kekuasaan dengan perlindungan yang canggih dan akurat,
tentunya membutuhkan sistem yang baik. Membangun benteng-benteng yang kuat dan
kokoh termasuk berlindung dari serangan bencana alam, adalah sebuah jalan untuk
tetap bertahan dari serangan apapun. Jika mampu mengatasi badai dan bencana
alam, apalagi hanya menghadapi pikiran-pikiran manusia, yang sangat dengan
mudah dikendalikan oleh sistem kekuasaan.
Bunker menjadi
tempat istimewa untuk melindungi diri dari serangan apapun. Tetapi ini hanya
berlaku khusus bagi orang-orang yang menguasai sistem. Kekuasaan adalah sebuah
sistem yang dibangun oleh beberapa orang atau kelompok untuk mempertahankan
serta melebarkan sayap kekuasaan. Di tengah ketakutan menghadapi pandemi
berkepanjangan, tentu ada cara agar orang-orang di luar sistem kekuasaan
percaya, bahwa ini perubahan globalisasi yang berlangsung secara ekstrem.
Masyarakat di luar sistem tadi, dibangun dengan penciptaan karakter berbeda
bila perlu dengan “pembunuhan karakter”
Frasa “hujan”
sangat erat dengan situasi alam yang kapan saja bisa terjadi. Karena musim yang
ada di Indonesia hanya dikenal dengan musim kemarau dan hujan, maka sudah
menjadi hal umum. Kedua musim ini juga bisa mengakibatkan bencana bagi manusia.
Bencana yang dibuat oleh manusia dilakukan secara sistemik dan masif, agar
tampak dan seolah-olah tampak dalam sebuah kondisi yang serba darurat.
Pertempuran dan
peperangan fisik, yang dilengkapi senjata, mungkin sudah bukan zamannya lagi.
Kalau pun terjadi antara Rusia dan Ukraina, itu adalah tontonan perang yang
berbeda dengan film, dan kita sebagai penonton menyaksikannya seperti menonton
sebuah epilog perang – mungkin – sebagai intermezzo
dalam modernitas zaman. Tetapi di belakang layar, ada serangan yang sewaktu-waktu
membuat kita hidup semakin terpuruk. Zaman dimana kita membaca dan menatap
layar hidup dengan istilah “kemiskinan!”
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi seakan mendorong transformasi sosial yang dengan
sangat mudah dimainkan oleh raksasa industri teknologi dunia. Bangsa kita tidak
mampu mengelak, karena permainan ini dimainkan oleh seluruh dunia. Lalu
bagaimana menciptakan katastrofe dalam
dimensi hidup manusia. Sangat sederhana, manusia harus bertahan hidup, dan jika
tidak mampu bertahan maka akan menjadi mayat-mayat, artinya, itu sudah menjadi
wilayah takdir.
Dalam kacamata katastrofe, wilayah yang tak mampu
dijangkau dengan cara konvensional, sudah bertransformasi dengan teknologi
digital, harus disupport dengan sistem regulasi. Hebatnya, regulasi ini bisa
jadi magnet tolak-menolak yang mengakibatkan arus komunikasi berjalan sepihak.
Masyarakat tidak boleh pada posisi antitesis. Jika musim penghujan, maka
masyarakat hanya boleh menjadi tanah, tidak boleh menjadi langit. Jika kemarau
panjang, maka masyarakat tidak boleh menjadi sumber air. Begitu hebat diksi
dari regulasi ini. Dan yang pasti, zaman makin samar maka masyarakat berkatalah
dengan: entah!
Meminjam pendapat Alvin Toffler (1992:101) yakni karena tumbuhnya karakter global dari teknologi, masalah-masalah lingkungan, keuangan, telekomunikasi dan media, maka umpan balik kultural yang baru mulai beroperasi, sehingga kebijakan sebuah negara menjadi perhatian bagi negara lain. Disini, katastrofe menjadi sebuah senjata, meski tidak berupa bencana alam. ***
____________________________
Tentang Penulis
Vito Prasetyo, lahir di Makassar 1964. Kini berdomisili di Malang, peminat puisi. Beberapa puisinya telah terbit di media cetak.Termaktub dalam beberapa Buku Antologi Puisi. Email: vitoprasetyo1964@gmail.com. Kontak: 085336361115.
0 Komentar