IBN SINA (AVICENNA) (370/980 – 428/1037)
A.
Biografi Ibn Sina
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Husayn b.Abu Allah b.Hasan b.Ali b.
Sina al-Qanuni. Ia berkebangsaan Turki-Iran, yang lahir di kota Afshana dekat
Bukhara dari sebuah keluarga berhaluan Shi'ah. Dalam bahasa Ibrani namanya
dikenal dengan Aven Sina. Sedangkan di dunia Barat (Latin) ia lebih dikenal
dengan nama Avicenna. Ia dilahirkan pada masa kekacauan, ketika khalifah
Abbasiah mengalami kemunduran.
Dia meninggal pada tahun 428/1037 dalam usia 58 tahun di Hamadhan.[1]
B.
Pemikiran Filisofis Ibn Sina.
Beberapa butir pemikiran filosofisnya
dapat disimak dari karyanya Hayy Ibn Yaqdhan. Tetapi
kami mencoba untuk mengambil poin penting dari beberapa
butir pemikiran filosofisnya
sebagai berikut:[2]
· Avicenna mau melukiskan bahwa filsafat
(akal) itu dapat berkembang sendiri tanpa harus bergantung pada masyarakat yang
telah maju.
· Dengan filsafat itu manusia dapat mengenal
Allah. Namun akhirnya ia mengakui bahwa agama lebih praktis menuntun manusia
secara langsung kepada keselamatan dalam hidupnya. Filsafat dapat dipakai untuk
makrifat akan Allah. Namun untuk amal kehidupan manusia sendiri,
filsafat itu terlalu ideal dan teoretis.
·
Karya ini menjelaskan juga bahwa agama
pada asasnya sesuai dengan alam pikiran filsafat. Dengan filsafat (akal)
manusia akan dapat menyelami maksud agama.
C.
Pemikiran Metafisika
Ibn Sina memandang fisika dan metafisika
sebagai suatu badan ilmu yang tak terbagi. Fisika mengamati apa yang ada sejauh
ia bergerak. Sedangkan metafisika memandang apa yang ada sejauh ia ada dan
berusaha mengetahui tentang seluruh kenyataan itu sejauh dapat dicapai oleh
manusia. Yang menonjol dalam pemikiran metafisikanya adalah teori emanasi yang
terdiri dari tiga unsur berikut ini.
a) Unsur
Ilmu Kalam.[3]
Ia mengikuti cara mutakallimun yang mengklasifikasikan segala mawjudat (yang
ada,ens) ke dalam dua kelompok yakni Yang
Wajib dan Yang Mungkin. Yang Wajib ialah sesuatu yang tak dapat
digambarkan tidak adanya. Daripadanya terbagi lagi atas wajib bin-dhatihi
(wajib dengan dhatnya) ialah sesuatu yang adanya tak bergantung pada sebab
lain. Sesuatu itu adalah Tuhan. Sedangkan yang lain adalah wajib bin-ghayrihi
(wajib dengan yang lainnya) yakni sesuai yang ada karena berasal dari benda
lainnya.
Yang mungkin (Mumkin) ialah sesuatu
yang terbayang adanya dan terbayang pula tidak adanya. Daripadanya terbagi lagi
atas dua. Pertama, Mumkin bin-dhatihi yaitu sesuatu yang terbayang adanya dan
tidak adanya karena dhatnya sendiri. Hal ini tak ada. Sedangkan yang kedua,
Mumkin bin-ghayrihi, yaitu sesuatu yang terbayang adanya karena sebab yang
lain.
b) Unsur
filsafat Eleatis dan Neo-Platonis, yang kemudian berkembang menjadi prinsip
umum bahwa tiap-tiap yang satu hanya dapat mengeluarkan yang satu (la yashduru
‘an al-wahid illa wahid). Dalam kitab Al-Najah ditulisnya sebagai berikut. (Sesungguhnya dari yang satu hanya ada
yang satu).[4]
c) Unsur filsafat Aristoteles dan Neo-Platonis tentang akal. Sebagaimana halnya Al-Farabi, ia mengatakan bahwa Tuhan itu adalah Al-‘Aql al-Naqi (Akal Murni). Dialah yang menghasilkan lewat jalan emanasi (fayd) al-‘Aql al-Awwal (Akal Pertama) yang memikirkan dirinya, Tuhan dan hal lain lewat aktivitas ber-ta'aqul sehingga memancarkan al'-'aql al-thani (Akal Kedua), dan selanjutnya hingga Akal Kesepuluh.[5]
D.
Teori
Emanasi
Teori emanasinya tentang pemancaran (fayd) akal-akal itu ditambahkan dari pandangan Al-Faradi. Ada 10 akal yakni ber-ta’aqul, falaq al-aqsa, al-falaq al-nujum, saturnus,yupiter, matahari, venus, mercurius, dan bulan.[6]
E.
Filsafat Ketuhanan[7]
Ibn Sina menegaskan bahwa ada distingsi
antara esenssi dan eksistensi. Mengenai Allah dijelaskannya bahwa
eksistensi-Nya itu adalah bagian dari essensi Allah. Karena Allah itu adalah suatu Unitas
yang sempurna, maka eksistensi itu bukanlah suatu milik yang ditambahkan pada
Ada-Nya. Allah adalah Ada yang Wajib Sebaliknya, segala ada yang lain bersifat
'kontingen’, yang memperoleh eksistensinya dari sesuatu lain di luar dirinya, yakni Allah. Argumentasi ini
kelak diformulasi lagi dalam aneka bentuk oleh para filsuf Barat antara lain
Anselmus dan Thomas Aquinas. Sealur dengan al-Farabi (lantas juga dengan Plato,
Plotinus dan Arstoteles) Ibn Sina berpendapat bahwa Allah menciptakan dunia
lewat proses emanasi.
Pembuktian rasional tentang
adanya Allah dipinjam Avicenna dari tiga pokok pemikiran Aritoteles berikut:
(1) Yang Mumkin karena dhatnya
hanya diwujudkan oleh yang wujud karena dhatnya. (2) Yang bergerak
menuntut penggerak yang sendiri tidak digerakkan (the first unmoved nmover).
(3) Yang disebabkan ditarik
dari tidak ada (lays) kepada ada (ays) oleh Dia yang sendiri bukan
musabab. Mengenai pengetahuan Allah, Ibn Sina menulis di beberapa karyanya
bahwa Allah memahami (mengetahui) hal-hal partikular secara universal. Dengan
kata lain, Allah itu menguasai dunia dan melakukan inayah (providentia)
serta melintasi sejarah sesempurna mungkin, namun Dia tidak mengetahui seluk
beluk khusus dari manusia dan alam materi (yang dikenal dalam filsafat dengan particularia,
singularia atau contingentia). Bagi lbn Sina, kalau Allah mengetahui
hal-hal partikular yang tak sempurna, binasa dan bahkan buruk, maka Dia
membutuhkan organ-organ sensoris sebagaimana layaknya manusia dalam proses
mencapai ‘pengetahuan’, yang serentak pula menjadikan Allah itu 'tidak
sempurna'.
F. Alam Kejiwaan
Konsep Ibn Sina tentang kejiwaan
dapat dibagi menjadi dua segi, fisika dan metafisika. Aspek fisika berbicara
tentang macam-macam jiwa, kebaikan-kebaikan, jiwa manusia, indera dan
lain-lain. Sedangkan aspek metafisika berbicara tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan
dan keabadian jiwa. Ada empat dalil yang dikemukakannya untuk membuktikan
adanya jiwa.
1.
Dalil
alam kejiwaan[8]
Dalam
manusia terdapat peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin ditafsirkan kecuali
sesudah mengakui adanya jiwa, yakni gerak dan pengenalan (pengetahuan). Ada dua
macam gerak yakni gerak paksaan dan bukan paksaan. Gerak paksaan merupakan
gerakan yang timbul sebagai akibat dari dorongan luar yang menggerakkan benda tertentu. Sedangkan gerak
bukan paksaan terbagi ke dalam dua macam, yakni gerak yang sesuai dengan hukum
alam dan gerak yang melawan hukum alam. Fenomena gerak inilah yang menjadi
dasar untuk berpikir tentang jiwa sebagai penggerak khusus yang melebihi
unsur-unsur benda yang bergerak.
Demikian
pula halnya dengan pengenalan. Proses serta kesanggupan untuk mengidentifikasi
kembali konsep-konsep yang sudah ada dalam benak hanya dimungkinkan oleh adanya
jiwa.
2.
Dalil
Aku dan kesatuan gejala-gejala kejiwaan
Menurut Ibn
Sina, ketika kita berbicara positif atau negatif tentang diri sendiri atau orang lain, maka
yang dimaksudkan adalah pribadinya. Pribadi atau saya (ego) bukanlah kadar
dari peristiwa-peristiwa itu melainkan jiwa dan kekuatan-kekuatannya.
3.
Dalil
kesinambungan waktu (continuitas)[9]
Aliran
waktu bergerak terus, mengalami perubahan dalam rangkaian yang tidak terputus.
Pertalian atau rangkaian itu bisa terjadi karena peristiwa-peristiwa jiwa
merupakan limpahan dari sumber yang satu dan beredar di sekitar titik tarik
yang tetap. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa manusia bergerak dan berjalan terus.
4.
Dalil orang terbang[10]
Untuk menjelaskan
konsep ini, Ibn Sina menggunakan suatu pengandaian sebagai berikut. Andai kata ada orang yang memiliki kekuatan penuh, baik akal maupun jasmani
untuk menutup mata sehingga tidak melihat apa-apa. Lalu ia terbang ke
udara atau pun udara kosong, sehingga
anggota-anggota badanya tidak saling bersentuhan dan bertumpu pada sesuatu.
Kendati pun semuanya itu bisa terjadi, namun orang itu tidak akan meragukan
bahwa dirinya ada, meski ia tidak melihat wujud badannya. Namun di saat seperti
itu, ia toh masih bisa menghayalkan adanya sendiri. Tetapi penetapan khayalan
tentang wujud dirinya itu bukan karena hasil inderawi melainkan hasil dari
sumber lain yang berbeda dengan badannya, yakni jiwa.
G.
Konsep
Mistik Ibn Sina
Kendati Ibn Sina
bukan seorang (zuhd) dan tidak
memiliki pengalaman mistik, namun ia mengemukakan asas – asas mistik (tasawwuf). Dikemukakan bahwa hasrat
(kerinduan) jiwa untuk bersatu dengan Tuhan itu memiliki sifat yang logis dan
rasional. Kerinduan bersatu dengan Tuhan bukan merupakan cinta emosional atau
paralogis seperti dikemukankan Al – Hallaj (w.922M di persia) dan Bistami
(w.877M di Turki). Jiwa manusia itu terdorong oleh kerinduan (‘ishq) seperti semacam eros dari plato, mendambakan persatuan
kembali dengan asalnya, naik melalui tingkatan wujud yang beredar dalam harmoni
falaq abadi sampai menghadap wajah
Allah (Bdk. Q.28,88).
Untuk mencapai
puncak itu, ditempuhkan ketiga jenjang berikut:[11]
1)
Membina
keinginan untuk meningkatkan kepribadian dan melepaskanya dari kesibukan
duniawi lewat kegiatan fana (pengosongan diri).
2)
Menguasai
hawa nafsu, terutama nafs al–ammarah yang
mendesak manusia untuk melakukan kejahatan (Q.12,53).
3)
Melakukan
olah batin dengan latihan–latihan rohani secara bertahap sebagai berikut:
a) Zahid
(askese), yakni
konsentrasi batin untuk melenyapkan segala kegelisahan jiwa nafs lawamah (Q.75,2) demi mencapai
perdamaian jiwa atau nafs mutmainah (Q.89,27).
b) ‘abidI
(ibadat) dengan
berpuasa, melakukan doa malam, melaksanakan amal diluar yang diwajibkan, menghilangkan
objek pikiran khusus.
c) ‘arif (pengenalan) dengan terus menerus bermeditasi tentang Hakikat Tertinggi untuk memperoleh ma ‘rifat Allah (pengenalan Akan Allah).
Ibn Sin diakui sebagai filsuf paling hebat dalam sejarah filsafat Islam. Garis besar pemikirannya mirip dengan para gurunya (Yunani maupun Arab) tetapi sintesenya bercorak unik dan kreatif. Walaupun karya-karyanya dikritik oleh AL-Gazali karena dipandang menyimpang dalam banyak hal dari aqidah Islam. Namun, pemikirannya tetap dianut kebanyakan serjana Muslim sesudahnya. Bahkan Ibn Rushd membelanya terhadap kritik negative Al-Gazali. Para sarjana Eropa mengenal filsafat Aristotele hanya melalui terjemahan Latin dari karyanya, sebelum karya asli Aristoteles tersedia. Walaupun demikian, St. Thomas Aquinas mengemukakan beberapa pokok pikirannya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama di mana Ibn Sin cenderung menolak kebangkitan badan, menolak bahwa penciptaan itu bersifat abadi, wajib dan melalui pengantara, menolak bahwa wujud tercipta sekadar suatu aksiden pada dhatnya, menolak bahwa Allah tak mengetahui hal-hal khusus, menolak bahwa wahyu kenabian merupakan bakat insani yang berkembang sesuai dengan penyempurnaan akal karena Thomas menegaskan bahwa kenabian itu merupakan rahmat adikodrati.[12]
Daftar Pustaka
Buku:
Tule Philipus, Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimah (Maumere:
Ledalero).
[1]Philipus
Tule, Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat (Maumere: Ledalero,
2008), hlm. 219-220.
[2]Ibid.,
hlm. 222.
[3]Ibid.,
hlm. 224.
[4]Ibid.,
hlm. 225.
[5]Ibid.
[6]Ibid.,
hlm. 226
[7]Ibid., hlm. 227.
[8]Ibid., hlm. 229.
[9]Ibid., hlm. 230.
[10]Ibid., hlm. 231.
[11]Ibid., hlm. 133.
[12]Ibid., hlm.135.
0 Komentar