ESAI MUHAMMAD LUTFI-PUISI AKU SEBAGAI DIMENSI INDIVIDUALITAS YANG RUMIT

Pixabay.com


Puisi Aku Sebagai Dimensi Individualitas yang Rumit

Pada suatu karya sastra, terutama jagad puisi Indonesia, tentu puisi karya maestro besar dengan julukan Binatang Jalang yang disematkan pada namanya tidak pernah kita lupakan. Puisinya yang begitu vitalitas dan super individualistik mampu membuat orang terkagum-kagum. Bahkan perayaannya selalu dirayakan dengan semarak festival super meriah di Ibukota dan di daerah-daerah. Tentu saja, maestro puisi Indonesia Angkatan 45 itu bukanlah kaleng-kaleng. Dia adalah seorang penyair besar yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia dan namanya masih selalu kita kenang sekarang ini.

Chairil Anwar, seorang yang menulis sajak Aku, adalah wajah per-puisian Indonesia. Puisi penuh bara api semangat dan berani itu tentu sangat dibangga-banggakan oleh kaum penerusnya. Tetapi perlu kita kritisi, bahwa sajak tersebut adalah wujud dari keinginan Chairil Anwar. Bukanlah sepenuhnya sajak perjuangan.

Chairil Anwar adalah sosok pemimpin angkatannya sebagai seniman puisi pada zamannya dan sebagai pembuka kemodernan puisi di Indonesia. Gaya seorang lelaki perokok berat, yang tak bisa diatur adalah ciri kemerdekaan dari Chairil Anwar. Puisinya tidaklah banyak, tetapi banyak dikaji oleh penyair-penyair sesudahnya. Kemolekan kata-kata dan metafor yang begitu ganas membuat pembaca terkesima pada keindahan gaya bahasa Chairil Anwar. Tetapi ada puisinya ini yang berjudul Aku sangat mendukung tentang dualitas dari paradigma sosial di masyarakat dan di mata kaum akademisi. Apakah benar itu puisi untuk perjuangan, ataukah keinginan Chairil untuk hidup dengan dikenang.

Pada baris yang berbunyi “aku ingin hidup seribu tahun lagi” membuka kesadaran kita bahwa Chairil adalah seorang yang ingin dikenang melalui karya puisinya. Tetapi ada juga yang mengartikan bahwa kalimat itu adalah wujud dari ke-Indonesiaan Chairil Anwar. Chairil Anwar mengimpikan Indonesia. Kalau begitu, apakah Chairil ini memang telah meramalkan umur dari Indonesia, bahwa dia akan terus berlari dan berlari hingga hilang segala penderitaan dari Indonesia. Dan mungkin dia sudah meramalkan dengan perkiraannya bahwa Indonesia masih selalu merdeka seribu tahun ke depan. Pada barisnya yang berbunyi “biar peluru menembus kulitku/aku tetap meradang menerjang/luka dan bisa kubawa berlari/berlari hingga hilang pedih perih”, menunjukkan kalau Chairil telah menggambarkan perjuangan saat itu. Dimana memang rakyat Indonesia berjuang dengan pertempuran dan senjata untuk memerdekakan Indonesia dari kaum penjajah.

Tetapi ketika kita baca bunyi baris “aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang”, tentu itu tidak menggambarkan Indonesia. Indonesia bukanlah binatang jalang. Walaupun Indonesia bergantung kepada kaum kapitalis, Indonesia juga tidak seperti itu seutuhnya. Kalimat-kalimat dalam sajak Aku karya Chairil Anwar memang menampakkan nasionalisme Chairil Anwar yang ikut berjuang pada sajaknya.

Kata “binatang jalang” seharusnya jangan dipakai. Kata sarkasme seperti itu menunjukkan pemberontakan pada keadaan. Kata sangat kasar macam itu seperti sebuah umpatan yang tak layak ditiru oleh anak-anak pelajar. Bahkan kata itu semacam hal tabu yang tak pantas diucapkan. Sangat sarkasme sekali dan kurang normatif dalam diksi.  

Tetapi keragu-raguan itu tertambat, pada kalimat “kalau sampai waktuku/ku mau tak seorang kan merayu/tidak juga kau/tak perlu sedu sedan itu”. Kalimat itu menunjukkan sikap sangat keras kepala Chairil Anwar yang ibarat orang bilang “kau mau peduli atau tak peduli padaku, aku tak masalah”.   Walaupun sebetulnya itu adalah suatu kesombongan dan kemunafikan, bahwa hidup tak perlu orang lain. Karena manusia adalah mahluk sosial. Hidup ini tentu perlu ibu yang merawat kita sedari kecil. Sebenarnya lebih tepat untuk kemandirian, kalimat baris tersebut. Sifat mandiri yang harus dimiliki seorang insan yang sudah dewasa dan mau bekerja keras untuk hidupnya.

Pada kalimat “tidak juga kau/tak perlu sedu sedan itu”, menunjukkan bahwa seorang yang memiliki kebijaksanaan dan menenangkan hidupnya. Bahkan harus menemukan arti dalam menghadapi situasi, dimana kita juga perlu untuk membuat suasana tidak bertambah sedih.

Dua sifat yang sangat padu, individualisme dan nasionalisme yang sangat kentara pada puisi Aku. Seorang yang membaca puisi Aku tentu harus dibaca dengan lantang dan dengan nada memekik menjulang tinggi membara semangatnya. Ritmenya pun diatur sedemikian rapi oleh penulisnya sehingga nadanya yang semakin naik  akan membuat pembacanya memiliki roh semangat. Ini seperti sebuah mantera. Sebuah mantera untuk mengajak seseorang ikut berjuang. Mantera keberanian yang bilamana diucapkan akan membuat seseorang menjadi berani dan maju berdiri menentang kekalahan.

Kekaguman pada puisi Aku tentu tak redup hanya di situ. Kepercayaan diri yang besar pada puisi Aku juga membuat orang akan keheranan. Bagaimana bisa seseorang berani menulis puisi nekad seperti itu tanpa memikirkan akibatnya. Puisi itu ditulis pada tahun 43 sebelum Indonesia merdeka. Alam pikiran Chairil dan imajinasinya mungkin sudah berpikiran jauh, bahwa kalau tidak ada keberanian dan kesadaran tentang bangsa kita ini, kita akan selamanya jadi kumpulan yang terbuang di mata dunia.

Kelebihan puisi Aku ada pada metaforanya yang kuat sehingga membuat puisi tersebut seolah menghipnotis kita untuk ikut apa yang penulis tuliskan melalui puisinya. Sehingga suasana mistis dan sakral gambaran hidup pada zamannya dapat kita temukan di pikiran kita. Perasaan kita akan tersentuh dan sikap acuh kita pada keadaan terpuruk pasti akan sirna setelah membaca puisi Aku yang buas bagai singa memburu mangsa ini.

Alur dalam puisi tersebut juga terkesan membuat kita sadar akan arti penting dari diri sendiri serta kebanggaan akan perjuangan. Sebelum kita mampu memahami orang lain, tentu kita harus memahami diri sendiri. Ini tentu kesadaran, bahwa diri kita adalah objek dasar yang perlu kita bangun dan rawat sebelum orang lain. Kebanggan akan perjuangan tentu tak dimiliki oleh sembarang orang. Hanya manusia yang memiliki jiwa patriotik dan mau ikut sumbangsih pada bangsanya-lah yang mampu untuk melakukan perjuangan. Walaupun perjuangan hanya melalui pena dan puisi seperti Chairil Anwar.

Cara penyampaian pesan Chairil begitu menusuk-nusuk hati. Bagaimana tidak, ketika kita disuguhkan dengan amanah yang jelas tersampaikan pada kita untuk selalu membuat kita jadi orang yang berani dan jangan penakut. Jangan pantang menyerah pada keadaan sebelum membuahkan hasil. Amanah pada puisi itu begitu luhur.

Penulisannya pun singkat, padat, jelas, dan indah. Lebih tepatnya lugas dan jelas. Penulisan puisi yang singkat seperti ini namun sangat indah ketika dibaca lisan dan dibaca melalui tulisan sangatlah jarang. Boleh dibilang tidak ada duanya puisi Aku karya Chairil Anwar.

 Pati, 7 Juli 2022

______________________________________

Tentang Penulis

Muhammad Lutfi, bergiat di Rumput Sastra. Tinggal di Jawa Tengah. Buku: Aku dari East City, Pelaut, Berlayar, Taka, Gugat, Mata Sengsara, Senja.

 

Posting Komentar

0 Komentar