CERPEN IRMA OPENG-TELAPAK TANGAN


Pixabay.com
TELAPAK TANGAN

Bulan Juni berlalu begitu cepat, bak roket. Melaju hingga tak tersadar sudah di penghujung semester. Kali ini adalah liburan yang kutunggu. Secepat kilat aku memutuskan liburan untuk pulang kampung.

Suasana di kampung terasa begitu nikmat dengan bunyi-bunyi khas ala kampung. Aku tertegun pada sederet tempat yang sudah berbeda semenjak lima tahun lalu. Susunan pembangunannya semakin rapi, jalanan lebih terasa bersih, pepohonan ditanam dengan pola yang indah. Semuanya semakin berbeda, itulah yang membuat aku terdiam mengagumi keindahan itu.

Di rumah, suasana seperti biasa. Tanpa ayah, karena semenjak 8 tahun yang lalu ayah memilih untuk merantau di Kalimantan. Hanya ada mama, aku beserta kedua adikku Fidel dan Rian (nama orang huruf besar). Aku yang sebagai sulung dan sebagai putri tunggal untuk keluarga ini. 

Kehidupan kami memang tidak dibilang kaya, tidak juga miskin. Kehidupan kami selalu berkecukupan. Semenjak perginya bapak ke Kalimantan, kehidupan kami bertiga hanya bergantung pada mama. Kasih sayang, perhatian, dan segalahnya meskipun bapak sering mengirim uang. Tetapi ia sangat berbeda sebagai seorang ayah untuk kami. Mama adalah segalanya. Sebagai ibu, sekaligus sebagai ayah. Kami bertiga hanya merasakan kasih sayang yang lebih dari seorang mama. Walaupun ayah setiap hari menelpon, tetapi dia seperti asing sekali untuk kami bertiga.

Pagi hari di awal liburan pertamaku, kami saling  merangkul lewat secangkir kopi pagi. Suasana seperti biasa tetapi akrab sekali. Sesekali mama membuat lucu dengan pengalamannya, Fidel menceritakan pengalaman yang konyol bersama teman-temannnya, Rian sebagai yang bungsu hanya tertawa, makan, minum dan menerima ledekan dari mulutku. Suasana begitu menyenangkan. Setelah sesaat melepas tawa, ibu kembali dengan nada seriusnya. 

“ Sudah lama sekali ibu merindukan suasana seperti ini. Kalian bertiga adalah anak, sekalian sebagai teman. Kalian adalah segalanya untuk ibu. Maaf kalau selama ini ibu belum bisa memberikan yang terbaik buat kalian bertiga. Ibu hanya memberi apa yang ada pada ibu.” 

Kata-kata ibu begitu mendalam dan menyentuh buat kami bertiga sampai-sampai aku bungkam untuk membalas.

“Tidak Ema ee…selama kami masih dengan Ema, kami selalu berkecukupan. Intinya kita akan selalu sama-sama”. Balas Rian sebagai yang bungsu sekaligus mewakili perasaan kami.

Acara makan minum (ngopi) selesai dan kami kembali dengan kesibukan masing-masing. Fidel mandi, Rian melanjutkan membaca buku. Ibu kembali ke halaman belakang sedangkan  aku duduk termanggu memikirkan ibu dari kejauhan mata memandang. Tanpa alas kaki dia tunduk merangkul sampah kotor pada kesekian kalinya di tiap pagi ataupun sore. Kali ini dia mengusap peluh yang mungkin dari tadi sudah membasahi pipinya yang suam-suam keriput.dengan wajah penuh letih dia melap sisa-sisa keringat pada dahi, sambil bersiul yang menandahkan dia letih. 

 

Setelah itu dia berpindah di dapur. Aku menatapnya penuh rasa iba, bagaimana mungkin tulang yang sudah rapuh ini terus bekerja demi membahagiaakan ketiga anaknya?  Bagaimana mungkin ibu sekuat dan sesabar itu? Bahkan tidak tega melihat anaknya yang bekerja. Sekian lama aku di luar, aku hanya merepotkan ibu dengan uang. Menyuruh ini, itu tanpa tahu dan mengerti perjuangan ibu. 

Setelah itu ibu menyapaku dalam kebingunganku.

“Apa yang kamu pikirkan?”, Tanya ibu

“Apa pekerjaan itu ibu suka atau hanya untuk kami?”, Tanya ku balas

“mengapa bertanya seperti itu?”

“Aku hanya ingin mengetahuinya. Sebenarnya semenjak tadi aku memperhatikan ibu. Kelihatan ibu sangat letih. Maafkan aku yang sampai sekarang belum berguna untuk ibu, belum bisa memberikan uang untuk ibu. Aku hanya selalu merepotkan ibu. 

“ Tidak apa-apa Oa, hidup memang begitu. Semua ada saatnya. Ibu hanya melakukan kewajiban sebagai seorang ibu. Ibu hanya ingin kalian bertiga bahagia seperti yang lain tanpa ada kekurangan. Setidaknya ini yang bisa ibu lakukan untuk kalian bertiga. Ibu minta maaf. Ibu tahu kamu tidak suka melihat orang menangis. Tapi biarkan ibu menagis dihadapan kamu. Sejujurnya ibu sangat bahagia melihat kita berkumpul seperti ini. Ibu tidak punya siapa-siapa dan hanya berteman pada sepi. Rumah dan kebun sebagai teman paling baik melepas peluh dan menyibakkan rindu pada setiap sepi. Begitulah. Dering telpon dari kalian saja ibu sudah merasakan bahagia. Apalagi seperti ini. Kalian adalah rindu ibu yang terus ibu perjuangkan dalam doa. Ibu mohon, jika suatu saat kalian jauh, jangan pernah lupa untuk telepon ibu. Mendengar suara kalian adalah vitamin yang menyegarkan raut muka ibu. Terima kasih nak, memilih liburan di kampung.”, begitulah sabda ibu yang amat panjang

“Jangan begitu Ema e….” begitu balasan saya, berusaha untuk menutupi kesedihan. Karena disuatu sisi, saya orangnya yang gengsian menunjukan kesedihan.

Ibu kembali berdiri meninggalkan saya dan kata-kata yang dia ucapakan. Kembali menyibukkan diri dengan sayuran, ikan, pisau, dan kompor. Pertarungan hebat di dapur pun mulai. Tangan ibu yang penuh kasih sayang tidak pernah tidak menyuguhkan makanan sedap. Walau sederhana, jika dilakukan dengan ketulusan, makanan itu tetap enak untuk dinikmati.

“ Ema, makanan sudah siap kah? Saya lapar!”, teriak Fidel seperti biasanya ketika dia lapar

“Sudah, suruh Tata siapakan piring di meja. Datang bantu Ema dolo Nong”, balas Ema

“Okay, siyap bos.” Balas Fidel penuh antusias.

Lima menit berlalu, kami berempat sudah berkumpul di meja makan. Seperti biasa kami mengawali dengan doa, selesai berdoa kami santap malam bersama. Di meja bundar ini, sebagai saksi kekeluargaan kami yang amat sederhana. Saling merampas lauk adalah hal yang sudah biasa kami tiga lakukan. Dan ibu hanya memaklumi sambil memberi saran, jangan berantam, yang besar harus mengalah. 30 menit berlangsung. Sarapan pun selesai. Mama kembali menasehati

“Jika makan, harus bersyukur sama Tuhan, ingat orang lain yang kesusahan supaya kalian jangan buang-buang nasi. Nasi yang sudah di sendok di piring harus dihabiskan. Jika kalian melakukan itu, berarti kalian menghargai mama dan menghargai makanan. Orang sukses dan baik berawal dari menghargai hal yang kecil.hal yang kecil dapat menyokong untuk hal yang besar. Hargai hal yang kecil, maka kalian akan dipenuhi kelimpahan.” Pesan mama layaknya ketua pimpinan biara,hahah

“ Iyah ibu yang cantik” balas kami serempak.

Di meja bundar ini, tatapan rembulan di mata kami menyinari suasana malam itu. Lauk yang sudah habis, nasi yang tersis Sedikit, canda tawa yang belum tuntas, kami membiarkan doa menjadi penutup rasa syukur kami. 

_______________________________

Tentang Penulis

Irma Openg berasal dari Flores Timur. sekarang sedang mengenyam pendidikan di IFTK Ledalero, Prodi Desain Komunikasi Visual.


Posting Komentar

0 Komentar